Minggu, 05 Juli 2009

masyarakat dan negara

Pemikiran Ibnu Khaldun “Masyarakat dan Negara” dan Relevansi dengan Sosial Politik Indonesia

Mu’izzuddin Dzulhakim
H.I-B/07260096

Disini penulis akan menguaraikan salah satu point dari pemikiran Ibnu Khaldun tentang hubungan antara masyarakat dan negara, serta relevansinya dengan kondisi sosial perpolitikan di Indonesia. Perlu di tekankan bahwa dalam setiap sistem pemerintahan hubungan antara negara dan masyarakat tidak bisa terpisahkan, entah negara tersebut berbentuk monarki, otoriter, khalifah maupun demokrasi. Karena seperti yang kita ketahui salah satu syarat terbentuknya suatu negara adalah masyarakat atau penduduk yang tetap. Yang akan membedakannya hanyalah status dan keberadaan masyarakat dalam negara tersebut. Keberadaan dan posisi masyarakat dalam sistem demokrasi akan berbeda dengan keberadaan masyarakat dalam sistem otoriter.
Dan juga bagaimana kehidupan masyarakat atau bentuk suatu negara tersebut tidak lepas dari pengaruh letak geografis sebagai tempat tinggal masyarakat dan letak negara tersebut, akan menyebabkan adanya perbedaan bangsa-bangsa dalam masalah syariat, hukum perundang-undangan, adat kebiasaan, tradisi, bentuk pemerintahan, aturan-aturan politik sampai kepada kemajuan suatu masyarakat, keadaan ekonomi, perang, akhlak, kepadatan penduduk, perilaku serta tindakan setiap individu, sampai kepada pola interaksi lelaki terhadap perempuan1. Masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah yang beriklim ekstrim, sangat panas atau sangat dingin, baik peradaban maupun budayanya tidak akan dapat berkembang secara dinamis. Sebaliknya suatu bangsa akan dapat memberikan kontribusinya kepada sejarah dan kebudayaan dunia manakala terletak di bagian bumi yang beriklim sedang.

Masyarakat dan Negara
Ibnu khaldun mengemukakan bahwa penyebab masyarakat berkembang adalah karena perbedaan tata pemerintahan dan perubahan keluarga yang memerintah, karena pencampuran kebiasaan tiap-tiap keluarga dengan kebiasaan keluarga yang terdahulu, kecendrungan alami yang terdapat pada orang-orang yang diperintah untuk memeruntah datang membawa kebiasaan dan tradisi yang berbeda-beda dengan kebiasaan keluarga terdahulunya serta tradisinya:” Selama bangsa dan generasi silih berganti raja dan sultan, perbedaan pada kebiasaan-kebiasaan dan hal ihwalnya akan tetap terjadi (Al Muqaddamah, al Bayan:253)2. Dari kutipan pernyataan tersebut sudah jelaslah bahwa bagi Ibnu Khaldun, adanya masyarakat, negara, dan peradaban tidak bergantung pada adanya agama.
Hal lain jika pemikir besar Yunani Kuno seperi Plato dan Aristoteles tidak membeadakan antara masyarakat dengan negara. Ibnu Khaldun memiliki pandangan yang bebeda, mengenai masyarakat lahir dengan tabiat serta fitrah kejadiannya, manusia itu memerlukan masyarakat, manusia itu memerlukan masyarakat, sebab mereka memerlukan kerjasama antarsesama untuk dapat hidup, baik ini dalam rangka memperoleh makanan sehari-hari maupun untuk mempertahankan diri.
Ikatan bermasyarakat, bernegara dan berperadaban pada umumnya sebagai sesuatu yang tumbuh dan tenggelam lepas dari soal apakah agama dalam pengertian nubuwwah datang atau tidak, karena ia mengakui bahwa banyak peradaban dan Negara tumbuh dan tenggelam tanpa didatangi oleh ajaran-ajaran nabi. Bagi Khaldun, adanya masyarakat, Negara dan peradaban tidak bergantung pada adanya agama. Meski di lain pihak Khaldun adalah seorang yang ditandai oleh ajaran-ajaran agama Islam, terutama fikih dan tafsir. Ini mempengaruhi sikapnya terhadap tuhan, manusia dan masyarakat.
Ibnu Khaldun telah membedakan antara masyarakat dan negara. Menurut pemikiran Yunani Kuno bahawa Negara dan masyarakat adalah identik. Adapun Khaldun, berpendapat bahwa berhubung dengan tabiat dan fitrah kejadiannya, manusia itu memerlukan masyarakat, artinya bahwa manusia itu memerlukan kerjasama antara sesamanya untuk dapat hidup; baik untuk memperoleh makanan maupun mempertahankan dirinnya sendiri. Sungguhpun ada perbedaan antara Negara dan masyarakat, namun antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Negara dihubungkan dengan pemegang kekuasaan yang dalam zamannnya disebut daulah merupakan bentuk masyarakat. Sebagaimana bentuk suatu benda tidak dapat dipisahkan dari isi, maka demikian pulalah keadaannya dengan Negara dan masyarakat. Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat yang menetap, yang telah membentuk peradaban, bukan yang masih berpindah-pindah mengembara seperti kehidupan nomaden di padang pasir.
Ibnu Khaldun seorang kritikus dan pakar sosiologi3, berpendapat bahwa adanya organisasi kemasyarakatan merupakan suatu keharusan bagi kehidupan manusia. Hal ini sesuai dengan pendapat yang telah banyak dikemukakan oleh para ahli sosiologi, bahwa manusia adalah makhluk politik (zoon politicon) atau makhluk sosial. Manusia akan merasa kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya jika ia hidup sendirian tanpa adanya institusi yang mengorganisasikannya.
Kebutuhan utama manusia adalah makanan dan keamanan. Dua kebutuhan tersebut tidak dapat tercapai seorang diri, maka secara otomatis manusia memerlukan kerjasama antar sesamanya. Hal inilah yang menyebabkan manusia membutuhkan organisasi kemasyarakatan. Setelah terbentuknya organisasi kemsyarakatan dan peradaban, maka masyarakat membutuhkan seseorang yang dengan pengaruhnya dapat bertindak sebagai penengah dan pelaksana keadilan di antara mereka. Manusia selain membtuhkan rasa keadilan juga memiliki rasa agresif dan watak tidak adil, maka keberadaan seseorang yang mampu mengayomi dan melindungi hak-haknya dari serangan dan kelaliman sesamanya sangat dibutuhkan.
Fenomena riil inilah yang akhirnya mengilhami Ibnu Khaldun untuk memikirkan tentang asal mula negara dan menjadi embrio konsep negara menurut Ibnu Khladun. Karena negara dalam skala makro menempati posisi organisasi kemasyarakatan yang dapat memenuhi kebutuhan kodrati manusia. Gagasan ini juga serupa dengan yang telah diungkapkan terlebih dahulu oleh Plato.
Menurut Khaldun, kehidupan padang pasir itu belumlah disebut Negara. Negara mengandung peradaban dan ini hanya mungkin tercapai dengan kehidupan menetap. Negara pun harus mengandung kekuasaan, kehidupan menetap mendorong kemauan untuk berkuasa dan kekuasaan inilah dasar pembedaan Negara dan masyarakat. Dan untuk tercapainya suatu tujuan dari relasi antara masyarakat dan negara akan dibutuhkan suatu Ashabiyah untuk menyatukan interest setiap masyarakat.

Dalam bernegara, diperlukan rasa Ashabiyah4, rasa golongan untuk mengikat warga negara, rakyat negara itu atau golongan pendukung negara bersangkutan, bila diperlukan untuk mempertahankan negara dibawah suatu pemimpin, penguasa atau kepala negara. Menurut Khaldun, suatu suku mungkin dapat membentuk dan memelihara suatu Negara apabila suku itu memiliki sejumlah karakteristik social-politik tertentu, yang oleh Ibnu Khaldun disebut dengan Ashabah. karakteristik ini justru berada hanya dalam kerangka kebudayaan desa. Oleh karena itu penguasaan atas kekuasaan dan pendirian Negara, sehingga munculnya kebudayaan kota akan membuat sirnanya ashabiyah yang mengakibatkan melemahnya Negara. Dalam soal Ashabiyah ini menunjukkan, bagi pendapat Ibnu Khaldun negara itu tidak terikat dengan adanya nubuwwah, hal yang penting dalam soal penguasa atau kepala negara.
Menurut Ibnu Khaldun, solidaritas kelompok (Ashabiyyah) sangatlah diperlukan karena dapat melahirkan semangat saling mendukung dan saling membantu serta rasa ikut malu dan tidak rela jika di antara mereka diperlakukan tidak adil atau hendak dihancurkan. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun untuk menguraikan teori ‘ashabiyyah ini, antara lain:
a.Secara alamiah solidaritas kelompok itu terdapat dalam watak manusia.
b.Adanya solidaritas kelompok yang kuat merupakan suatu keharusan dalam membangun suatu negara.
c.Seorang kepala negara, agar dapat secara efektif mengendalikan ketertiban negara dan melindunginya, harus mampu menumbuhkan solidaritas kelompok.
Solidaritas kelompok dapat melahirkan pemimpin yang unggul dan superior.
Negara menurut Khaldun adalah suatu makhluk hidup yang lahir, mekar menjadi tua dan akhirnya hancur. Negara mempunyai umur seperti makhluk hidup lainnya. Khaldun berpendapat bahwa umur suatu Negara adalah tiga generasi, yakni sekitar 120 tahun. Satu genarasi dihitung umur yang biasa bagi seseorang yaitu 40 tahun. ketiga generasi tersebut ialah:
Genersi pertama, hidup delam keadaan primitive yang keras dan jauh dari kemewahan dan kehidupan kota, masih tinggal di pedesaan dan padang pasir.
Generasi kedua, berhasil meraih kekuasaan dan mendirikan Negara, sehingga generasi ini berlih dari kehidupan primitive yang keras ke kehidupan kota yang penuh dengan kemewahan.
Generasi ketiga, Negara mengalami kehancuran, sebab generasi ini tenggelam dalam kemewahan, penakut dan kehilangan makna kehormatan, keperwiraan dan keberanian.
Menurut khaldun, negara dalam perkembangannya melalui lima tahap yaitu :
1.Tahap Pendirian Negara
Tahap untuk mencapai tujuan, meaklukkan segala halangan dan rintangan, menguasai kekuasaan. Negara sendiri tidak akan tegak kecuali dengan ashabiyah. Khaldun berpendapat bahwa ashabiyah yang membuat orang menyatukan upaya untuk tujuan yang sama, mempertahankan diri dan menolak atau mengalahkan musuh.
2.Tahap Pemusatan Kekuasaan
Pemusatan kekuasan adalah kecenderungan yang alamiah pada manusia. Pada waktu itu pemegang kekuasan melihat bahwa kekuasaannya telah mapan maka ia akan berupaya menghancurkan ashabiah, memonopoli kekuasaan dan menjatuhkan anggota-anggota ashabiyah dari roda pemerintahan.
3.Tahap Kekosongan dan Kesantaian
Tahap untuk menikmati buah kekuasaan seiring dengan watak manusia, seperti megumpulkan kekayaan, mengabadikan peninggalan-peninggalan dan meraih kemegahan. Negara pada tahap ini sedang berada pada puncak perkembangannya.
4.Tahap Ketundukan dan Kemalasan
Pada tahap ini, Negara dalam keadaan statis, tidak ada perubahan apapun yang terjadi, Negara seakan-akan sedang menantikan permulaan akhir kisahnya.
5.Tahap Foya-foya dan Penghamburan Kekayaan
Negara telah memasuki masa ketuaan dan dirinya telah diliputi penyakit kronis yang hampir tidak dapat ia hindari dan terus menuju keruntuhan.
Menurut Ibnu Khaldun, keberadaan kepala negara sebagai penengah, pemisah, dan sekaligus hakim merupakan suatu keharusan bahkan keniscayaan bagi kehidupan bersama umat manusia dalam suatu komunitas masyarakat (negara). Jabatan kepala negara merupakan lembaga yang alamiah dan natural bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Seorang kepala negara yang sebenarnya, harus memiliki superioritas dan keunggulan serta kekuatan fisik agar keputusan atau kebijakan yang diambil dapat berlaku secara efektif. Seorang kepala negara harus memiliki tentara yang kuat dan loyal kepadanya guna menjamin keamanan negara dari ancaman luar. Selain itu ia harus berkuasa menarik dana bagi pembiayaan operasional negara.
Kebijakan pemerintah yang diambil melalui kepala negara meski didasarkan pada peraturan-peraturan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan politik tertentu, yang tidak merugikan bagi sebagian atau keseluruhan rakyat. Kebijaksanaan politik itu dapat diambil dari beberapa sumber, yaitu pertama, rekayasa para intelektual, cendekiawan, pemuka masyarakat, dan orang pandai di antara mereka. Kedua, ajaran agama yang diturunkan Tuhan kepada utusan-utusannnya.
Secara sistematis, Ibnu Khaldun telah memberi kriteria tertentu bagi seseorang yang akan menduduki jabatan kepala negara, yaitu bahwa ia harus berilmu, adil, mampu, sehat badan, dan dari keturunan Quraiys (keluarga terhormat).
Selain menjelaskan mengenai bagaimana masyarakata atau suatu negara dan kriteria seorang kepala negara, Ibnu Khaldun mengemukakan juga mengenai sistem pemerintahan dalam suatu negara. Menurut Ibnu Khaldun sistem pemerintahan ada tiga macam:5
Pertama, pemerintah atau dalam istilah Ibnu Khaldun adalah al-mulk (Kerajaan) yang natural, yakni membawa sekalian umat sesuai dengan tujuan dan keinginan nafsu. Tabiat natural adalah instng, atau kecendrungan atau keinginan insting yang tersusun dalam satu individu seperti egoisme ddan keinginan untuk menjadi arogan atau despotis. Menurut Ibnu Khaldun, semua jenis itu harus dibenci. Pemerintahan ini menyeruapai apa yang dinamakan dengan pemerintahan otoriter, individualis, otokrasi atau inkonstitusional. Bisa jadi, termasuk di dalamnya kasus-kasus ketika orang-orang yang berkuasa berdasarkan hawa nafsu dan instingnya tergabung dalam kelompok atau kelas msyarakat tertentu. Yang terlihat, yang dihasilakan oleh sistem pemerintahan seperti ini adalah chaos, perpecahan, instabilitas dan kehancuran.
Kedua, pemerintahan atau mulk-politik, membawa atau mengantar masyarakat atau rakyatnya sesuai dengan pandangan rasio dalam mencapai kemaslahatan duniawi dan mencegah mudharat. Jenis pemerintahan ini diuji dari satu sisi, dan dicela pada sisi lain. Ini dapat dikatakan apa yang sekarang disebut pemerintahan republik, ataupun juga konstitusional yang dapat terwujudkan keadilan sampai batas tertentu, membawa berbagai manfaat bagi rakyat dalam kehidupan dunia karena menjalankan kebijaksanaan berdasarkan rasio yang telah digariskan oleh para pemikir serta intelektual umat dapat membawa stabilitas dan keteraturan kehidupan, juga membawa kemajuan dan kejayaan negara. Akan tetapi harus juga dikatakan, bahwa sistem ini adalah sebuah oerde materialistis, yang hanya membatasi diri dalam urusan keduniaan dan mengesampingkan kehidupan spritual dan aspek-aspek keagamaan, sehingga tidak mampu mewujudkan kepentingan rakyatnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan akhirat.
Ketiga, pemerintahan yang membawa semua orang untuk berpikir sesuai dengan jalan agama, dalam memenuhi semua kepentingan mereka, baik yang bersifat ukhrawi maupun keduniaan, sebab dalam pandangan syara, semua situasi dan kondisi keduniaan harus selalu memperhatikan pula kemaslahatan ukhrawi. Pemerintahan model ketiga ini adalah perwakilan dari Tuhan sebagai pemilik syariat dalam menjaga agama dan mengatur dunia dengan ajarannya. Inilah yang kemudian disebut kekhalifahan atau keimamahan; ataupun seperti yang jelas dipahami dari definisinya sebagai pemerintahan yang Islami. Ibnu Khaldun mengatakan yang ketiga ini merupakan studi komparasi denagn dua pemerintahan sebelumnya. Jika aturan undang-undang diputuskan oleh para intelektual dan pembesar negara, kebijakan politiknya disebut rasional; dan jika aturan-aturan itu berasal dari Allah yang memutuskannya serta mensyariatkannya, maka orientasi politiknya adalah religius, bermanfaat dalam kehidupan keduniaan dan keakhiratan.

Pemikiran Ibnu Khaldun dan Sosial Politik Indonesia
Gagasan Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa asal mula suatu negara ditimbulkan karena kodrat manusia yang tidak hanya sebagai makhluk individu tetapi juga sebagai makhluk sosial (zoon politicon) dan yang memiliki kepentingan dan kebutuhan masing-masing. Untuk memenuhi kebutuhan itu, manusia membutuhkan kerjasama yang terakomodasi dalam bentuk organisasi yang di dalamnya terdapat aturan yang disepakati. Dalam konteks ini, maka negara sangat berperan. Di Indonesia, negara menjalankan fungsinya sebagai organisasi yang mengatur semua tata kehidupan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan dan ketentraman.
Di dalam menjalankan fungsinya, negara harus dipimpin oleh seorang kepala negara. Konsep kepala negara yang dicitakan oleh Ibnu Khaldun haruslah seorang yang berilmu, adil, mampu, sehat, dan dari keturunan Quraiys. Jika konsep ini diterapkan di Indonesia maka sangatlah tepat dan relevan, kendati harus dilakukan reaktualisasi dan rekontekstualisasi dalam konteks ke-Indonesia-an. Kepala negara yang akan memimpin bangsa Indonesia haruslah orang yang memiliki integritas keilmuan yang tinggi. Mustahil seorang dapat menjalankan fungsi kepemimpinannya secara optimal jika tidak mempunyai perangkat keilmuan. Kontekstualisasi dari syarat ‘dari keturunan Quraiys’ adalah bahwa kepala negara atau pemerintah harus mempunyai kewibawaan dan mendapatkan legitimasi dan kepercayaan dari masyarakat. Suatu pemerintahan yang tidak legitimate akan mendapatkan kendala dalam menjalankan tugasnya.
Bagi Ibnu Khaldun, idealnya suatu negara berdasarkan nilai Islam secara formal untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran, namun ia juga tidak menutup realitas beberapa negara yang dapat berkembang secara progresif, mandiri, dan mencapai kesejahteraan tanpa harus berasaskan Islam secara formal. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia sebagai negara yang plural, multikultural, dan multireligius, tidak mutlak harus berdasarkan Islam tetapi nilai-nilai Islam yang menjadi ruh (soul) dan jiwa (spirit) dari peraturan dan sistem ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia6.
Dalam konteks penerapan syariat Islam di Indonesia misalnya, maka sangat sulit diterapkan, karena kondisi geografis dan kultur masyarakat Indonesai jauh berbeda dengan kondisi masyarakat Arab ketika ayat al-Qur’an diturunkan. Dengan demikian, bagaimanapun bentuk peraturan dan sistem ketatanegaraan selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam secara substantif bukan menjadi hal yang signifikan.
Bagi Ibnu Khaldun sendiri tidak terlalu mempersoalkan apakah negara itu harus mengikuti sistem pemerintahan Islam seperti pada masa Rasulullah dan para sahabatnya. Yang paling esensi baginya adalah bahwa tujuan diadakannya negara untuk melindungi rakyat dan menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran tercapai, dengan tetap mengapresiasi dan mengakomodasi nilai-nilai universal Islam yang diturunkan Allah melalui Rasul-Nya. Itu semua memiliki tujuan agar ajaran Islam yang komprehensif, universal dan berjiwa rahmatan li al-‘alamin tidak mengalami kejumudan (stagnancy) jika didialogkan dengan kondisi nyata sosio-kultur masyarakat pada saat ini.
Penutup
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1)Menurut Ibnu Khaldun, idealnya suatu negara berdasarkan nilai Islam secara formal untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran, namun ia juga tidak menutup realitas beberapa negara yang dapat berkembang secara progresif, mandiri, dan mencapai kesejahteraan tanpa harus berasaskan Islam secara formal.
2)Dalam konteks ke-Indonesia-an konsep ini sangat relevan. Titik relevansinya terletak pada sistem politik dan ketetanegaraan Indonesai kendati tidak mengacu pada asas Islam secara formal, tetapi konstitusi itu masih tetap mengakomodasi nilai substantif Islam sebagai ruh dan jiwa (landasan etis).

Daftar Pustaka
Syam, Firdaus.2007. Pemikiran Politik Barat; Sejarah, Filsafat, Ideologi dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ketiga. Jakarta:Bumi Aksara.
Sobary, Muhammad. 1998. “Dialog Intern Islam: Ukhuwah Islamiyah” dalam Passing Over. Jakarta: Paramadina.
Sadzali, Munawir. 1993. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI Press.