Sabtu, 26 Juni 2010

Peranan PBB dalam Penyelesaian Konflik India dan Pakistan (Dari Konflik Agama Hingga Pecahnya Anak Benua India dan Perebutan Wilayah Kashmir)

Peranan PBB dalam Penyelesaian Konflik India dan Pakistan
(Dari Konflik Agama Hingga Pecahnya Anak Benua India
dan Perebutan Wilayah Kashmir)
Oleh
Mu’izzuddin Dzulhakim


Pendahuluan
Anak benua India, juga disebut Asia Selatab, adalah wilayah yang terkenal dengan konflik-konflik antar agama, misalnya konflik antara Shikh dan Hindu di India barat Daya pada tahun 1980an dan 1990an, atau antara tamil Hindu dan singhalese Budha di Sri langka. Namun dilihat dar sisi perjalanan waktu, konflik yang paling sering berulang kembali adalah konflik antara Hindu dan Muslim.
India merupakan salah satu negara yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Tetapi ketika Islam masuk ke India dan berkembang pesat, posisi umat Hindu menjadi melemah. Perkembangan Islam yang pesat membuat masyarakat Hindu berkeinginan untuk mengembalikan kejayaan mereka ketika sebelum Islam masuk ke India. Keinginan masyarakat Hindu tersebut mengakibatkan tindakan diskriminatif terhadap masyarakat Muslim. Orang Muslim mengalami problem akibat diskriminatif yaitu menutup akses bagi masyarakat Muslim untuk memasuki lembaga pendidikan, serta lapangan kerja di sektor swasta maupun sektor publik . Berbagai tindakan diskriminatif yang dirasakan masyarakat Muslim di India membuat masyarakat Muslim berkeinginan untuk memisahkan diri dari India dan membentuk negara sendiri yaitu Pakistan.
Tetapi keinginan masyarakat Muslim untuk membentuk negara Pakistan menghadapi hambatan. Hambatan tersebut muncul karena adanya perbedaan pendapat antar kelompok. Kelompok pertama yang dipimpin oleh Jawaharlal Nehru, menginginkan India merdeka dan tetap bersatu. Sedangkan kelompok kedua yang dipimpin oleh Mohammad Ali Jinnah menginginkan dibentuknya sebuah negara bagi masyarakat Muslim.
Ketika dibawah kekuasaan kolonial Inggris, status pemerintahan wilayah-wilayah di Asia Selatan dibagi atas dua kategori. Yang pertama yaitu British India, dimana seluruh wilayah kategori ini berada dibawah kekuasaan Inggris. Yang kedua yaitu Princely State, dimana seluruh wilayah kategori ini mengakui Inggris sebagai kekuasaan tertinggi (Paramount Power) tetapi wilayah-wilayah tersebut pada dasarnya independen, bebas menyelenggarakan urusan sendiri kecuali dalam aspek pertahanan, politik luar negeri dan komunisasi .
Menjelang berakhirnya kekuasaan kolonial Inggris, wakil tertinggi pemerintah Inggris di India, mengeluarkan dekrit bahwa dengan berakhirnya kekuasaan Inggris dan hapusnya Paramounty Doctrine, penguasa Princely State harus menentukan status wilayahnya akan bergabung dengan India atau Pakistan, dengan mempertimbangkan kedekatan geografis, kesamaan budaya, struktur dan tingkat kemajuan ekonomi, serta demografi wilayah masing-masing.

Pembahasan

Konflik Agama Hingga Pecahnya Anak Benua India.

Islam berada dalam situasi paradoks di Asia Selatan. Pada satu sisi, jelas bahwa Islam itu penting. Hegemoni politik Muslim di Anak Benua itu yang dibangun melalui penaklukan, bukan melalui perluasan secara damai seperti di Indonesia misalnya berlangsung selama 6 abad, dari pembentukan Kesultanan Delhi pada awal abad 13 hingga kemunduran kekaisaran Mogul pada abad 18 dan penaklukan oleh Inggris dari tahun 1765 hingga 1888.
Pada awal abad 21, Asia Selatan dihuni kaum Muslim dalam jumlah yang paling besar di dunia: 400 juta orang, dua kali lipat jumlah penduduk Indonesia. Pada sisi lain, walau jumlahnya besar, kaum Muslim tetap merupakan minoritas di Anak benua itu. Kaum Muslim hanya sekitar 29 % dari jumlah total penduduk, dan terpusat di daerah pinggir: 2/3 tinggal di Pakistan, Bangladesh, dan Maladewa, dan selebihnya hidup terpencar-pencar di India, Nepal, dan Sri Langka .
Situasi paradox ini menjelaskan perkembangan konflik Hindu-Musloim selama dua abad terakhir. Muslim, yang ingin memepertahankan sesuatu dari kejayaan politik Islam pada masa lalu, merasa tidak aman dan membentuk identitas politik sendiri sejak akhir abad 19. Sementara itu, hindu mengandalkan jumlah mereka yang besar berupaya untuk memastikan bahwa kendali politik tetap berada ditangan mereka. Hal ini menimbulkan persainagan antara partai Kongres yang sekuler tapi didominasi Hindu dengan Liga Muslim, yang berakhir dengan pecahnya Anak benua itu pada tahun 1947, menjadi Indian Union yang berpenduduk mayoritas Hindu dan daerah Pakistan yang berpenduduk nayoritas Muslim .

Perebutan Wilayah Kashmir Antara India-Pakistan (Benturan National Interest Kedua Negara)
Pada 15 Agustus 1947, ketika masa kolonial Inggris berakhir di India maka India menjadi sebuah negara merdeka dan Pakistan berdiri sebagai sebuah negara baru di Asia Selatan. Pembagian wilayah antara India dan Pakistan didasarkan pada prinsip Partition, yang pada intinya menyatakan bahwa wilayah yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu akan bergabung dengan India. Sedangkan wilayah yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam akan bergabung dengan Pakistan.
Prinsip Partition tidak dapat berjalan dengan baik ketika ada tiga wilayah yang memiliki perbedaan keinginan antara masyarakat dengan penguasa. Tiga wilayah itu adalah Junagadh, Hyderabad, dan Kashmir. Pada akhirnya permasalahan Junagadh dan Hyderabad dapat terselesaikan dengan mengadakan pelaksanaan referendum. Tetapi permasalahan wilayah Kashmir malah menjadi berlarut-larut yang menjadikan perebutan wilayah antara India dan Pakistan.
Junagadh dan Hyderabadh merupakan wilayah yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu namun dikuasai oleh Muslim. Pada awalnya, Junagadh memutuskan untuk bergabung dengan Pakistan. Namun, keputusan tersebut di tentang India atas dasar prinsip Partition. Kemudian disepakati bahwa status Junagadh dan Hyderabadh diputuskan berdasarkan referendum dibawah pengawasan India. Sesuai hasil referendum, maka Junagadh dan Hyderabadh bergabung dengan India.
Kashmir merupakan wilayah yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam namun dikuasai oleh umat Hindu. Namun hingga saat partisi India, Kashmir belum menentukan keputusan untuk bergabung dengan India atau Pakistan. Bahkan Pemerintah Kerajaan Kashmir dengan Pemerintah Pakistan menandatangami Perjanjian Standstill Agreement, yang menyatakan bahwa Kashmir untuk sementara menangguhkan keputusan untuk melakukan penggabungan.
Permasalahan mulai memanas ketika terjadi pemberontakan di Poonch pada Oktober 1947, yang disebabkan atas tindakan Maharaja Hari Singh yang melakukan pemecatan terhadap para tentara yang berasal dari warga Poonch, serta menggantikannya dengan tentara Hindu dan Sikh. Puncak pemberontakan terjadi pada 21 Oktober 1947, ketika para pemberontak memproklamirkan berdirinya negara Azad Kashmir yang menjadi bagian dari Pakistan .
Keadaan yang semakin tidak terkendali membuat penguasa Kashmir, Maharaja Hari Singh, meminta bantuan kepada India. Permohonan bantuan tersebut sepertinya dimanfaatkan oleh India untuk mendapatkan Kashmir. Untuk mendapatkan bantuan militer dari India, Maharaja Hari Singh diminta India untuk menandatangani Instrument of Accession yang menyatakan Kashmir akan berintegrasi ke dalam bagian India. Maharaja Singh bersedia menandatangani persetujuan tersebut maka pada tanggal 27 Oktober 1947, India mulai intervensi di Kashmir .
Terlepas dari itu, Kashmir merupakan wilayah terpenting setelah Hyderabadh. Dengan keindahan pemandangan yang dimilikinya, Kashmir dijuluki sebagai Negeri Taman Musim Abadi. Baik bagi India maupun Pakistan kepemilikan Kashmir merupakan suatu hal penting bagi kelangsungan negaranya masing-masing. Bagi India sendiri ada beberapa aspek yang membuat India tidak mau melepaskan Jammu-Kashmir dari kekuasaannya.
Dari segi sejarah, pada dasarnya India dengan tegas menolak pembentukan negara Pakistan sekaligus sistem partisi yang telah ditetapkan oleh pemerintah kolonial Inggris. Dapat dikatakan, bahwa dunia internasional mengetahui bahwa India tidak akan mau melepaskan Jammu-Kashmir, terlebih lagi dengan adanya beberapa kali perang terbuka dengan Pakistan serta adanya perjanjian Instrument of Accesion dan Perjanjian Simla maka apabila India melaksanakan referendum yang kemungkinan besar akan dihasilkan penggabungan Kashmir dengan Pakistan, maka upaya India dari sejak Pakistan terbentuk, akan terasa sia-sia dan percuma.
Bagi Pakistan, wilayah Kashmir merupakan wilayah yang penting bagi negaranya. Dari segi sosial budaya, Pakistan merasa memiliki kesamaan dengan Kashmir, salah satunya yaitu mayoritas masyarakatnya yang memeluk agama Islam. Kashmir memiliki tiga aliran sungai yaitu Chenab, Jhelum dan Indus yang mengairi Pakistan. Selain itu, Pakistan juga memiliki ketergantungan terhadap India atas tiga sungai lainnya yang mengalir dari India ke Pakistan yaitu Sutlej, Beas, dan Ravi. Sungai-sungai tersebut mengairi sekitar 20 juta akre tanah Pakistan, yang ditumbuhi padi, gandum, tebu, kapas, dan lain-lainnya. Sehingga apabila Pakistan menguasai Kashmir maka Pakistan tidak perlu khawatir akan terjadinya krisis air di negara, seperti yang terjadi pada tahun 1948, 1952 dan 1958 dimana India menghentikan aliran sungai ke Pakistan .
Oleh karena itu, Kashmir merupakan kunci ketahanan pangan Pakistan karena apabila sungai-sungai tersebut tidak mengairi Pakistan maka yang terjadi adalah masyarakat Pakistan kemungkinan bisa saja dilanda kelaparan dan pemerintah Pakistan juga tidak dapat melakukan ekspor bahan-bahan pangan.

Upaya PBB dalam Penyelesaian Konflik India Pakistan

Keterlibatan India dalam pemberontakan di Poonch mengakibatkan keadaan Kashmir semakin memanas. Pengakuan India atas kepemilikan Kashmir berdasarkan Instrument of Accession, mendapat pertentangan dari Pemerintah Pakistan karena Pakistan masih meyakini Kashmir berada dalam status quo perjanjian berdasarkan Standstill Agreement. Bahkan pemberontakan rakyat Kashmir terhadap pemerintahnya berubah menjadi perang terbuka antara India dan Pakistan.
Setelah perang tersebut berakhir, India dan Pakistan sepakat mengadakan Pertemuan Lahore pada 2 November 1947, yang dihadiri oleh Gubernur Jenderal Pakistan Mohammad Ali Jinnah dan Gubernur Jenderal India Lord Mounbatten . Salah satu hasil pertemuan tersebut adalah akan melaksanakan referendum dibawah pengawasan PBB. Setelah hasil pertemuan tersebut dilaporkan kepada Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru dan Perdana Menteri Pakistan Liquat Ali Khan, kedua negara pun menyetujuinya.
Maka sejak 1 Januari 1948, masalah Kashmir menjadi permasalahan dunia internasional dibawah naungan PBB. Pada 1 Januari 1948, India melaporkan kepada DK PBB bahwa Pakistan ikut membantu pemberontakan di Poonch. Berdasarkan laporan tersebut, dalam piagam PBB Pasal 35 disebutkan bahwa Pakistan masih dapat mengendalikan 2/5 bagian negara . Selain itu, PBB juga meminta agar India dan Pakistan segera melakukan genjatan senjata.
Upaya PBB semakin optimal ketika pada 20 Januari 1948, DK PBB membentuk United Nation Comission for India and Pakistan (UNCIP) yang anggotanya terdiri dari Amerika Serikat, Belgia dan Argentina . Namun pada 21 April 1948, PBB memutuskan untuk menambah dua anggota baru UNCIP, yaitu Kolombia dan Cekoslowakia. Selain itu, diputuskan pula bahwa India dan Pakistan harus menarik pasukan, berhenti perang, mengembalikan pengungsi, membebaskan tahanan politik, serta secepatnya melaksanakan referendum atas status Kashmir.
Pada Juli 1948, Menteri Luar Negeri yang juga sebagai delegasi Pakistan di PBB, Zafrulla Khan mengakui bahwa tentara Pakistan berada di Kashmir. Pada 13 Agustus 1948, UNCIP mengeluarkan resolusi yang menyatakan bahwa adanya keterlibatan Pakistan atas terjadinya perang di Poonch. PBB juga meminta agar Pakistan dan India menarik pasukannya di Kashmir. Dalam resolusi tersebut dinyatakan bahwa :
"Pemerintah India dan pemerintah Pakistan menegaskan kembali bahwa status masa depan Jammu-Kashmir akan ditentukan sesuai dengan kehendak rakyat dan untuk mencapai tujuan tersebut, atas penerimaan Perjanjian Genjatan Senjata, kedua pemerintah menyetujui untuk memulai konsultasi dengan Komisi untuk menentukan syarat-syarat yang adil, seimbang, bebas dan terjamin" .
Namun rencana pelaksanaan referendum belum juga dapat dilaksanakan maka pada 11 Desember 1948, PBB menegaskan kembali agar melakukan referendum dan genjatan senjata. Namun penegasan tersebut tidak memberikan pengaruh apapun karena Pakistan masih belum mematuhi resolusi sebelumnya, seperti menarik bersih pasukannya dari Kashmir. Terlebih lagi, Pakistan masih mengurusi urusan dalam negerinya sebagai sebuah negara baru, terutama mengenai demografi negaranya.
Pada 5 Januari 1949, PBB kembali mengeluarkan resolusi yang menyebutkan bahwa "the question of accession of the state of Jammu and Kashmir to India or Pakistan will be decided through the democratic method of a free and impartial plebiscite . Resolusi tersebut juga menyatakan untuk penarikan pasukan Pakistan dari Kashmir, mengukuhkan hak tentara India dalam mempertahankan Kashmir, dan segera melaksanakan referendum di Kashmir secara independen.
Setelah India dan Pakistan mengumumkan genjatan senjata dibawah naungan PBB, maka selama tahun 1949 PBB melalui UNCIP melakukan berbagai pertemuan dan kesepakatan mengenai perumusan proses genjatan senjata yang dilakukan. Proses-proses tersebut antara lain mengenai garis genjatan senjata, penarikan pasukan secara bertahap, serta pengawasan proses genjatan senjata.
Kasus perebutan wilayah Kashmir yang berlaru-larut memutuskan PBB untuk mencoba pendekatan baru, yaitu dengan mengirimkan perwakilan PBB ke India dan Pakistan untuk mencari solusi yang dapat disepakati oleh kedua negara. Perwakilan PBB yang pertama, yaitu DK PBB Presiden Jenderal AG L McNaughton yang membawa sebuah proposal yang menyarankan agar kedua negara melakukan demiliterisasi Kashmir untuk memastikan bahwa proses referendum tidak akan memihak salah satu negara. Namun, proposal tersebut ditolak oleh India.
Kemudian, tahun 1950 PBB mengutus Sir Owen Dixon bertemu dengan pejabat India dan Pakistan untuk kembali mencari solusi. Sir Owen Dixon juga membawa proposal yang menyarankan agar pelaksanaan referendum hanya dilakukan di daerah yang bermasalah (Valley of Kashmir), dan wilayah lainnya menentukan keputusan sendiri untuk bergabung dengan India atau Pakistan. Proposal yang dikenal dengan Dixon Plan” juga mendapat penolakan dari India dan Pakistan .
Agar India dan Pakistan menyetujui proposal yang diajukan PBB, maka dikirim kembali perwakilan PBB, yaitu Frank Graham untuk menyelesaikan konflik dalam waktu tiga bulan. Setelah melewati jangka waktu yang ditentukan, belum juga ditemukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan Kashmir. Namun pada 30 Maret 1951, PBB membentuk pasukan keamanan militer untuk mencegah terjadinya perang di daerah perbatasan Kashmir, India dan Pakistan .
Kegagalan-kegagalan yang dialami, tidak membuat PBB menyerah untuk menyelesaikan persengketaan Kashmir. Berbagai cara dilakukan kembali untuk menemukan solusi yang benar-benar dapat disepakati oleh India dan Pakistan. Oleh karena itu, pada tahun 1957 PBB kembali mengirim perwakilannya, yaitu Gunnar Jarring, namun mengalami kegagalan pula.
Setelah usaha-usaha memaksa India untuk menaati resolusi PBB tidak pernah terwujud, maka pada tahun 1957, Pakistan mencoba kembali mengangkat isu Kasmir ke PBB, yang kemudian hasilnya adalah PBB menolak ratifikasi Instrument of Accession, namun hasil tersebut ditolak India. Resolusi tersebut juga mengulangi resolusi sebelumnya yang menyatakan bahwa masa depan Kashmir harus diputuskan sesuai kehendak rakyat melalui cara-cara yang demokratis dengan melaksanakan referendum yang bebas dan tidak memihak di bawah pengawasan PBB.
Pada tahun 1962, Dewan Keamanan PBB berusaha melakukan hak veto namun hal tersebut gagal . Upaya PBB dalam menyelesaikan masalah ini terlihat melemah ketika dikeluarkannya resolusi tahun 1964 yang menyatakan bahwa permasalahan Kashmir antara India dan Pakistan sebaiknya diselesaikan dahulu secara bilateral. Berbagai resolusi yang dikeluarkan tidak juga menyelesaikan permasalahan Kashmir. Bahkan India dan Pakistan kembali terlibat perang terbuka pada tahun 1965 dan tahun 1971, yang mengakibatkan ratusan ribu korban jiwa, korban terluka dan tertangkap.

Kesimpulan
Perebutan wilayah Kashmir merupakan dampak disintegrasi India yang melahirkan negara Pakistan. Andai saja pada masa lalu, umat Hindu India tidak bersikap diskriminatif dan menerima keberadaan umat Islam di India mungkin tidak akan ada disintegrasi India yang kemudian menimbulkan perebutan wilayah Kashmir. Tetapi, dalam hal ini tidak dapat menyalahkan sejarah dan berdirinya Pakistan. Pembentukan negara Pakistan dianggap perlu karena kalau tidak, akan membuat umat Islam di India merasa terkekang dan tidak dapat hidup dengan aman dan layak.
Yang harus dipahami adalah secara teoritis, jika mengacu pada sistem partisi dimana wilayah yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam akan bergabung dengan Pakistan, sedangkan wilayah yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu akan bergabung dengan India. Maka Kashmir yang merupakan masyarakatnya beragama Islam, akan menjadi bagian integral dari Pakistan. Tetapi perlu diingat pula, akan adanya Instrument of Accession yang ditandatangani oleh Maharaja Singh, dimana Kashmir akan masuk ke dalam bagian integral India sebagai syarat permohonan bantuan militer dari India.
Sejak tahun 1948, permasalahan ini telah melibatkan PBB. Sebagai organisasi tertinggi di dunia, PBB telah berkali-kali mengeluarkan resolusi untuk melaksanakan referendum. Tetapi hingga akhir tahun 1977, referendum tidak pernah dilakukan. Sejak adanya Perjanjian Simla, perjuangan Kashmir lebih mengarah kepada nasionalisme Kashmir dimana menuntut kemerdekaan sebagai sebuah negara yang berdiri sendiri tanpa bergabung dengan India ataupun Pakistan. Hal itu dikarenakan salah satu isi perjanjian Simla adalah segala permasalahan antara India dan Pakistan akan diselesaikan secara bilateral.
Pada akhirnya keterlibatan, usaha dan peran PBB sepertinya terasa sia-sia dan tidak dihargai karena referendum yang telah diputuskan oleh PBB, tidak pernah dilaksanakan oleh India dan Pakistan. Padahal keterlibatan PBB merupakan atas permintaan India dan Pakistan sendiri. Perjanjian Simla yang disepakati India dan Pakistan, secara tidak langsung membuat melemahnya posisi resolusi PBB dimata pemerintah serta rakyat India dan Pakistan.
Sebenarnya resolusi PBB memiliki kekuatan di atas Perjanjian Simla tetapi dengan kekalahan perang yang diterima membuat Pakistan tidak dapat berbuat apa-apa. PBB sebagai organisasi internasional tertinggi dan berdasarkan Piagam PBB, seharusnya PBB bisa lebih bertindak maupun menekan India dan Pakistan untuk melaksanakan referendum. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh PBB misalkan dengan memberi sangsi kepada India dan Pakistan, misalkan dengan memberi sangsi atau memblokade India dan Pakistan.
Apabila PBB sebagai organisasi internasional tertinggi tidak dapat menyelesaikan kasus perebutan wilayah Kashmir antara India dan Pakistan yang telah terjadi selama puluhan tahun, maka keberadaan dan kegunaan PBB menjadi dipertanyakan. Bila PBB tidak dapat menyelesaikan suatu konflik yang terjadi di dunia maka tidak menutup kemungkinan cita-cita dunia yang menginginkan perdamaian tidak akan terwujud, karena tidak menutup kemungkinan pula jika aktor-aktor negara akan memilih jalan perang untuk menyelesaikan permasalahan atau konflik yang sedang dihadapi negaranya.
Oleh karena itu, PBB harus berani bersikap tegas kepada India dan Pakistan untuk mematuhi solusi-solusi yang diberikan PBB. Diharapkan pula aktor-aktor non-negara lainnya seperti SAARC dan UNHCR, dapat mendesak India dan Pakistan untuk membuka diri dan menerima bantuan serta solusi yang diberikan oleh PBB.

Relasi Pembangunan, Lingkungan Hidup dan Stabilitas Human Security (Negara-Negara Berkembang)

Relasi Pembangunan, Lingkungan Hidup dan Stabilitas Human Security (Negara-Negara Berkembang)

Oleh

Mu’izzuddin Dzulhakim


Abstrak

Pembangunan, lingkungan hidup dan human security merupakan bagian yang saling berkesinambungan satu sama lain. Kerusakan sumber daya alam dan kerentanan terhadap perubahan lingkungan secara langsung dan tidak langsung dipengaruhi oleh interkasi manusia dalam pembangunan dengan lingkungan itu sendiri. Pembangunan yang kita lihat saat ini secara tidak langsung sangat berdampak besar terhadap lingkungan kita, dan hal ini sangat mengancam human security. Hal ini lah yang yang dimaksud pergesaran paradigma tentang security tersebut. Konsep keamanan yang ada saat ini tidak lagi menjelaskan konsep tradisional, tapi lebih kontemporer dan kompleks. Keamanan yang dulunya bersifat militerisme, telah mendapat perluasan makna menjadi keamanan manusia (human security) dan keamanan lingkungan (environmental security). Hal ini terjadi pasca Perang Dingin yang menciptakan momentum baru yang memberi ruang bagi penafsiran kembali makna keamanan.

Kata kunci: Pembangunan, lingkungan hidup, human security.

Pendahuluan

Beberapa tahun belakangan ini kita lihat semakin banyaknya isu lingkungan hidup diangkat dalam agenda percaturan internasional. Kesadaran Negara ataupun masyarakat dunia akan ancaman kerusakan lingkungan menjadikan isu-isu lingkungan hidup menjadi common issu dalam era global. Karena kemerosotan lingkungan hidup sudah menyentuh kehidupan kita sehari-hari, seperti memanasnya suhu bumi (global warming) dan meningkatnya jenis dan kualitas penyakit akibat berlubangnya lapisan ozon kita.

Masalah lingkungan yang kita hadapi itu adalah masalah yang dipandang dari sudut kepentingan manusia. Masalah ini sebenarnya dipandang sebagai masalah ekologi, khususnya ekologi manusia. Masalah itu timbul karena adanya perubahan lingkungan sehingga itu tidak sesuai lagi untuk mendukung kehidupan manusia dan menganggu kesejahteraanya. Dalam permasalahan lingkungan, yang dipersoalkan ialah perubahan yang dilakukan akibat perbuatan manusia. Dengan makin besarnya jumlah manusia yang disertai dengan kebutuhan yang semakin meningkat perorangnya dan makin meningkatnya kemampuan manusia untuk melakukan intervensi terhadap alam, baik alam abiotic maupun biotic, perubahan yang terjadi pada lingkungan makin besar pula[1]. Perubahan yang makin besar itu, misalnya pada arus energy dan daur materi, telah mengganggu proses alam sehingga banyak fungsi ekologi alam terganggu pula. Dampak gangguan fungsi ekologi alam terhadap kesejahteraan manusia semakin terasa pula, baik secara nyata maupun potensial.

Perubahan itu juga tidak luput dari pesatnya kemajuan dunia ilmu pengetahuan dan tekhnologi, begitu pula pesatnya perkembangan dan pergesaran nilai, kian menciptakan benteng kedirian manusia sebagai system yang lebih tinggi derajatnya dari seluruh lingkungan. Kebutuhan manusia berkembang mekar bersama-sama dengan pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari sini kemudian lahir dan berkembang pulalah berbagai keinginan yang sukar dibedakan dengan kebutuhan[2]. IPTEK telah menumbuhkan modernisasi yang pesat, seolah-olah segala sesuatu dapat dieksploitir dan dikonsumir tanpa batas dan pertimbangan, tanpa kaedah-kaedah keserasian, tanpa adanya kaedah interaksi fungsional antara manusia dan lingkungan.

Aktivitas manusia telah membawa dampak besar terhadap ketahanan atau daya dukung lingkungan (environment carrying capacity). Aksi dan tingkah laku berupa pemenuhan kebutuhan dasar dan rupa-rupa kebutuhan lain sampai pada keinginan-keinginan yang variatif, tidak lepas dari loncatan modernisasi yang akhirnya akan mengancam keamanan manusia (Human Security). Jika kita bandingkan dengan situasi pra teknologi modern, aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhannya tidak begitu berpengaruh terhadap keseimbangan alam. Tingkah laku manusia seperti berburu, menebang pohon, berladang ataupun menambang barang-barang tambang yang masih sederhana caranya. Hal itu tidak lah berpengaruh terhadap keseimbangan alam atau lingkungan, karena masih dapat dipulihkan melalui system mata rantai ekosistem yang lainnya.[3] Tetapi kini, kita bisa lihat praktek-praktek hidup manusia bukan lagi sekedar menutupi kebutuhan, melainkan telah berpusat pada keinginan yang serba tidak terbatas, sehingga untuk memenuhinya tidak jarang melakukan eksploitasi yang berlebihan terhadap alam atau lingkungan hidup.

Pergesaran, corak serta sifat kebutuhan kepada keinginan inilah yang pada akhirnya menentukan intensitas masalah-masalah lingkungan yang kita hadapi sekarang. Sosok manusia ditandai dengan potensi-potensi keinginan yang dalam banyak kala melewati batas-batas kewajaran. Potensi-potensi demikian menjadi ancaman terbesar bagi eksistensi ekologi yang yang serasi dan selaras.[4]

Melihat hal tersebut, semakin mengancam dan parahnya kerusakan lingkungan akibat ekploitasi yang berlebihan, timbul kesadaran masyarakat dunia yang makin luas sehingga pada tanggal 5 Juni 1972 setiap negara berkumpul di Stokholm untuk membicarakan masalah lingkungan yang dihadapi didunia. Pertemuan tersebut menghasilkan perjanjian yang kita kenal sebagai Konferensi Stokholm. Dengan adanya Konferensi Stokholm lingkungan tidak lagi merupakan masalah satu Negara saja, melainkan telah menjadi masalah internasional yang dapat mengancam human security masyarakat dunia.

Oleh karena itu, disini penulis mencoba menganalisa bagaimana pembangunan yang berkelanjutan dapat memberikan dampak yang buruk terhadap lingkungan yang akan mengancam human security. Karena pembangunan tidak luput dari eksploitsi lingkungan.

Pembahasan

Konferensi Stokholm secara fakta tidak dapat mengatasi masalah lingkungan yang dihadapi dunia. Pada satu pihak, Negara maju masih terus meneruskan pola hidupnya yang mewah dan boros serta banyak mencemari lingkungan. Jumlah industry, kendaraan bermotor, dan konsumsi energy terus meningkat sehingga limbah yang dihasilkan makin bertambah banyak. Usaha untuk mengurangi limbah itu pun tidak banyak dilakukan, termasuk limbah berbahaya dan beracun. Amerika Serikat dan Belanda misalnya, dihebohkan dengan adanya limbah beracun yang mencemari daerah pemukiman.

Pada lain pihak, Negara-negara dunia ketiga tidak kalah aktifnya dalam mengeksploitasi lingkungan. Politik pembangunan[5] yang dijalani negara-negara berkembang sangat berdampak buruk terhadap kelangsungan hidupnya, Negara-negara berkembnag terus meningkatkan eksploitasi sumberdaya alam untuk meningkatkan pembangunannya beserta untuk membayar hutang luar negerinya. Kerena kemampuan ekonomi dan tekhnologi serta kesadaran lingkungan masih terbatas, peningkatan pembagunan itu tidak disertai dengan tindakan yang memadai untuk melindungi lingkungan. Oleh karena itu, kerusakan sumberdaya alam karena ekspoitasi yang berlebihan dan cara yang semberono serta pencemaran lingkungan pun terjadi di Negara-negara berkembang[6].

Umumnya Negara-negara berkembang sedang giat-giatnya serta penuh ambisius melakukan pembangunan negaranya. Pemerintahan Negara berkembang berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan social masyarakatnya di segala bidang kehidupan lewat berbagai upaya. Keinginan untuk memajukkan negaranya diwujudkan dengan membuka kebijakan menarik investor asing untuk menanamkan modal di negerinya, menjajagi pengalihan tekhnologi (transfer of technology); imporisasi barang-barang yang dinilai mewujudkan kemajuan seperti kendaraan-kendaraan, alat-alat kebutuhan mutakhir dan sebagainya,beserta tidak luput mendayagunakan sumber-sumber daya alam untuk mendukung system pembangunan yang dijalankan.[7] Akan tetapi justru lewat upaya-upaya tersebut system pembangunan yang dijalani sering mengalami kemacetan ditengah jalan. Sehingga tidak heran apabila kerusakan lingkungan untuk pembangunan lebih cendrung merugikan negara-negara berkembang.

Negara miskin yang lebih rentan terhadap kerusakan lingkungan hidup daripada Negara kaya. Karena itu sering terjadi konflik yang dipicu oleh kerusakan lingkunagn hidup di Negara-negara berkembang. Hal itu dapat menyebabkan efek social yang pada akhirnya dapat menimbulkan beberapa tipe konflik, seperti persengketaan dengan Negara lain, benturan antara kelompok adat, pertentangan penduduk sipil dan kerusuhan.[8]

Pembangunan, lingkungan dan Human security di Negara-Negara Berkembang

Sebelum membahas lebih jauh mengenai hubungan ketiga elemen tersebut, penulis terlebih dahulu mengulas mengenai perluasan makna keamanan.

Dengan berakhirnya Perang Dingin menciptakan momentum baru yang memberi ruang bagi penafsiran kembali makna keamanan. Ia tidak semata-mata keamanan negara dari ancaman militer negara lain. Bahkan, sebagai implikasinya, peran militer pun diperluas untuk melakukan tugas-tugas di luar pertahanan teritorial. Selain itu, perhatian terhadap human security juga diperkuat oleh gelombang globalisasi yang melahirkan arus balik karena beberapa efek negatifnya terhadap negara-negara lemah, kelompok, dan individu tertentu. Dan, yang paling mencolok adalah bahwa menguatnya gagasan dan upaya human security merupakan reaksi terhadap masalah-masalah kemanusiaan yang melanda dunia saat ini, mulai dari pengungsi akibat konflik dan kekerasan fisik, penjualan anak-anak dan wanita, masalah pangan, terorisme, perdagangan senjata ilegal, pelanggaran hak azasi manusia, dan salah satunya mengenai kerusakan lingkungan hidup.[9]

Konsep human security diperkenalkan pertama kali oleh United Nations Development Program (UNDP) pada tahun 1994. Dalam report tersebut UNDP menjelaskan konsep human security yang mencakup: keamanan ekonomi, keamanan pangan, keamanan kesehatan, keamanan lingkungan hidup, keamanan personal, keamanan komunitas, dan keamanan politik. Ketujuh hal tersebut diidentifikasikan menjadi dua komponen utama dari Human Security yaitu “freedom from fear” dan “freedom from want”.[10]

Hubungan antara pembangunan, lingkungan dan human security sangat lah dekat dan kompleks. Banyak hal mengenai human security terkait dengan akses sumber daya alam dan perubahan lingkungan yang diakibatkan oleh proses pembangunan. Peningkatan usaha pembangunan akan beriringan dengan peningkatan penggunaan sumber daya alam untuk menyongkong pembangunan itu sendiri dan tidak dipungkiri lagi timbulnya permasalahan-permasalahan dalam lingkungan hidup manusia akan bertambah pula.

Masalah lingkungan yang diakibatkan pembangunan dalam segala bidang pada saat ini memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan individu dan mata pencaharian pada tingkat yang paling dasar. Dalam pembangunan, sumber daya alam merupakan komponen yang penting di mana sumber daya alam ini memberikan kebutuhan asasi bagi kehidupan. Dalam penggunaan sumber daya alam, hendaknya keseimbangan ekosistem tetap terpelihara. Seringkali karena meningkatnya kebutuhan akan hasil proyek pembangunan, keseimbangan alam bisa terganggu, yang kadang-kadang bisa membahayakan kehidupan umat (human security).[11]

Melihat hal tersebut tidak heran apabila konsep dan praktik tentang pembangunan terus mengalami perdebatan dalam dua dekade belakangan ini. Salah satunya dipicu oleh tingginya tingkat kerusakan alam dan lingkungan hidup yang di antaranya diakibatkan oleh “rajinnya” perusahaan dalam mengeksploitasi alam, utamanya industri ekstraktif. Kegiatan yang dilakukan perusahaan tersebut juga tanpa alasan karena dengan aktivitasnya diharapkan laju pertumbuhan ekonomi dan akumulasi kapital di wilayah negara-negara berkembang dapat terus mengalami kemajuan yang positif.[12]

Isitilah pembangunan ini yang pada akhirnya lebih ditujukan bagi negara-negar berkembang yang selalu dinilai oleh banyak pihak terutama oleh negara maju memiliki masalah sosial, ekonomi dan lingkungan yang “permanen”. Lingkungan selanjutnya menjadi satu acuan penting untuk dicermati karena selain dieksploitasi tanpa henti, dampak yang terjadi ternyata bukan hanya berimplikasi negatif bagi negara yang bersangkutan namun telah mencapai tingkatan global. Perubahan iklim dan pemanasan global yang terjadi sebagai akibat menurunkan jumlah luasan hutan di negara berkembang adalah contoh nyatanya.

Di Indonesia, fakta menyatakan bahwa sebetulnya apa yang telah terjadi dengan alam dan lingkungan yang tereksploitasi ada sejak masa penjajahan Portugis, Belanda hingga Jepang yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 400 tahun. Lepas dari upaya penyebaran ideologi yang dilakukan oleh ketiga Negara tersebut, apa yang dilakukan mereka didasari niat untuk memonopoli dan mengeksploitasi hasil rempah-rempah serta hasil bumi lain yang melimpah di Indonesia. Eksploitasi itupun terus berlangsung hingga kini, di mana alam di Indonesia rusak akibat kegiatan perusahaan yang beroperasi tanpa henti. Negara maju memang membayar dalam bentuk pajak serta dana pungutan lainnya sebagai bentuk akumulasi kapital dan peningkatan pertumbuhan ekonomi bagi Indonesia atas apa yang dilakukannya selama perusahaan tersebut beroperasi. Namun, dampak negative yang dirasakan ternyata jauh lebih dahsyat dari dampak positif yang dihadirkan.

Melihat hal tersebut, masalah kerusakan lingkungan tidak lepas dari kehadiran Negara-negara maju yang kaya akan tekhnologi. Negara-negara maju menciptakan berbagai rupa ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang hebat sehingga mampu mengagumkan seluruh masyarakat dunia. Akan tetapi salah satu kelemahan yang belum bias terusik ialah ekses-ekses negatife tekhnologi itu sendiri. Inilah yang menjadi setan-setan ekologi baik di negrinya maupun di negara-negara miskin yang sangat ambisius untuk maju.

Untuk tercapainya kemajuan pembangunan, Negara-negara berkembang biasanya memulai dengan system “open door” yaitu membuka pintu lebar-lebar bagi penanaman modal asing; imporisasi dengan segala jenis barang-barang keperluan modern dari yang cocok dipakai sampai yang sama sekali janggal (karena barang masih sangat asing); pinjaman dilancarkan dari Negara-negara kuat untuk mengeksploitasi sumber-sumber alamnya[13]. Kondisi seperti inilah yang dimanfaatkan negara-negara maju, ambisi-ambisi Negara berkembang ini disambut dan dimanfaatkan untuk lebih meningkatkan industry dan perdagangan negaranya. Segala macam keinginan Negara berkembang dipenuhi seakan-akan dermawan yang murah hati.

Oleh karena itu dapat disimpulkan, tekanan dari Negara-negara maju (baik langsung atau tidak langsung) melahirkan situasi-situasi pelik di Negara-negara berkembang. Yaitu bahwa bukan saja belum mampu menggolkan tujuan hakiki pembangunannya atau belum juga mampu mengenyahkan kemiskinan dan mutu hidup yang rendah, namun bahkan pula ekses-ekses pembangunan yang disumbang Negara-negara maju tidak jarang menjadi beban-beban yang berat dan berkomplikasi.

Kita bisa ambil salah satu contoh di India, peristiwa Bhopal tahun 1984 misalnya tidak terlepas dari sikap masa bodoh dan egoistis Negara maju. Kecelakan di Bhopal ini menewaskan sekitar 1.500 orang dan mencederakan kurang lebih 500.000 penduduk berupa buta, merusak hati dan ginjal, memandulkan wanita, merusak kandungan wanita hamil, dll sebagai akibat bocornya tangki gas metyl icocyanate (MIC). Perusahaan industry yang bernama “Union carbide” adalah milik Amerika Serikat yang menurut sumber sudah kurang memenuhi syarat-syarat, antara lain dekat dengan pemukiman penduduk. Dan sebetulnya perusahaan ini di Negara asalnya tidak lagi dibolehkan beroperasi karena mengandung resiko keselamatan yang sangat besar[14].

Indonesia juga merupakan salah satu contoh negara yang bukan saja mengalami kerugian secara lingkungan namun juga kehilangan banyak materi yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Hutan yang terus dieskploitasi tanpa henti bukan saja menghadirkan banyak tekanan dari dunia internasional dan oleh karenanya maka produk dari Indonesia dibatasi untuk beredar di pasaran internasional, namun lebih dari itu kerugian atas rusaknya hutan juga berdampak bagi penerimaan negara. Bisa dihitung, berapa pendapatan potential yang hilang bagi negara ini akibat dari pembalakan liar yang berdampak dengan hadirnya beragam bencana Satu contoh saja, Oxfam International dalam laporannya berjudul Summary for Policy Makers Climate Variability and Their Implication to Indonesia 2007 menyebutkan total kerugian Indonesia akibat El Nino mencapai 1 milyar dollar AS atau setara dengan sembilan trilyun rupiah. Angka ini belum ditambahkan dengan dengan hadirnya bencana, tanah longsor dan banjir dan biaya untuk upaya perbaikannya.[15]

Melihat contoh-contoh kasus tersebut, sudah jelas bagi Negara-negara maju lebih mementingkan keuntungan ekonomi daripada keselamatan berates ribu orang. Kasus-kasus ini juga merupakan orientasi daari berbagai sebab akibat dari dampak pola-pla sikap Negara maju sehingga masalah konsep pembangunan yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan yang tentunya mengancam human security menjadi sangat berlipat ganda untuk kita hadapi.

Penutup

Kesimpulan

Dengan meluasnya makna keamanan yang sebelumnya hanya bersifat militer, masalah-masalah lingkungan hidup menjadi anggenda utama dalam percaturan internasional. Kebutuhan manusia yang terus bertambah dan diiringi jumlah penduduk yang terus meningkat memaksa masyarakat mau tidak mau mencari alternative untuk memanfaatkan sumber daya alam. Akan tetapi kadang-kadang pemanfaatn sumber daya alam itu tidak sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka, yang pada akhirnya akan terjadi eksploitasi sumber daya alam yang akan mengancam human security.

Selain meningkatnya kebutuhan manusia, IPTEK juga telah menumbuhkan modernisasi yang pesat, seolah-olah segala sesuatu dapat dieksploitir dan dikonsumir tanpa batas dan pertimbangan, tanpa kaedah-kaedah keserasian, tanpa adanya kaedah interaksi fungsional antara manusia dan lingkungan. Masalah kerusakan lingkungan tidak lepas juga dari kehadiran Negara-negara maju yang kaya akan tekhnologi, negara-negara maju menciptakan berbagai rupa ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang pada akhirnya Negara-negara berkembang sebagai sasaran penjualan tekhnologi.

Negara-negara berkembnag yang identik dengan pembangunan, sangat berambisi untuk melakukan pembangunan di segala bidang, sehingga masalah efek samping teknologi yang digunakan untuk pembangunan tidaklah merupakan pertimbangan bagi mereka yang terpenting ialah kemajuan. Mindset Negara-negara berkembang, bahwa yang menjadi “panglima” pembanagunan adalah pesatnya perkembangan teknologi. Maka kita tidak heran apabila kerusakan lingkungan lebih merugikan Negara-negara berkembang dari pada Negara-negara maju karena Negara-negara berkembang terlalu terobsesi dengan pembangunan tanpa memperhatikan dampak yang akan timbul yang akan berimplikasi terhadap human security mereka.

Saran

Hal yang perlu diperhatikan dalam rangka proses pembangunan mengenai perencanaan dan pelaksanaan proyek pembangunan beserta penggalian sumber daya alam untuk kehidupan harus disertai dengan:

- Strategi pembangunan yang sadar akan persoalan lingkungan hidup. Dengan impact ekologi yang sekecil-kecilnya harus ditingkatkan dan diperhatikan.

- Dibutuhkan politik lingkungan global bertujuan untuk mewujudkan persyaratan kehidupan masyarakat untuk global puluhan tahun yang akan datang (kalau mungkin untuk selamanya).

- Eksploitasi sumber hayati hendaknya didasarkan atas tujuan kelanggengan/kelestarian lingkungan, dengan prinsip memanen hasil tidak akan menghancurkan daya autoregenerasinya.

- Pemakain sumber daya alam yang tidak dapat diganti atau diperbaharui harus sehemat dan seefisien mungkin.

Referensi:

Soemarwoto, Otto.1992. Indonesia Dalam Kancah Isu Lingkungan Global; PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Siahaan.1987.Ekologi Pembangunan dan Hukum Tata Lingkungan; PT Erlangga: Jakarta.

Banyu Perwita, Anak Agung,dkk.2005.Pengantar Ilmu Hubungan Internasional; PT Remaja Rosdakarya: Bandung.

Supardi.1985.Lingkungan Hidup dan Kelestariannya; Penerbit Alumni: Bandung

Artikel “Human Security’s Dayhttp://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=4712

Artikel “Pembangunan Berkelanjutan dan pengaruhnya Terhadap Lingkungan” Oleh Reza Ramayana (www.csrindonesia.com)

Artikel “human security” oleh Edy Prasetyono ( Ketua Departemen Hubungan Internasional, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta dan anggota Working Group on Security Sector Reform)



[1] Otto Soemarwoto.1992. Indonesia Dalam Kancah Isu Lingkungan Global; PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Hal 2.

[2] N.H.T. Siahaan.1987.Ekologi Pembangunan dan Hukum Tata Lingkungan; PT Erlangga: Jakarta. Hal 27

[3] Loc.cit. hal 27

[4] Ibid. hal 29

[5] Politik pembangunan dimaksudkan dalam hubungan ini sebagai system-sistem yang dilakukan oleh suatu Negara untuk memajukan pembangunan negaranya dalam berbagai aspek kebutuhan.

[6] Op.cit. Otto Soemarwoto.1992. Indonesia Dalam Kancah Isu Lingkungan Global; PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Hal 5

[7] Op.cit. N.H.T. Siahaan.1987.Ekologi Pembangunan dan Hukum Tata Lingkungan; PT Erlangga: Jakarta. Hal 35

[8] Anak Agung Banyu Perwita.2005.Pengantar Ilmu Hubungan Internasional;PT Remaja Rosdakarya: Bandung. hal 130.

[9] Dikutif dari artikel “human security” oleh Edy Prasetyono ( Ketua Departemen Hubungan Internasional, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta dan anggota Working Group on Security Sector Reform)

[10] Dikutif dari artikel “Human Security’s Dayhttp://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=4712

[11] Dr.I. Supardi.1985.Lingkungan Hidup dan Kelestariannya; Penerbit Alumni: Bandung hal. 61

[12] Dikutip dari artikel “Pembangunan Berkelanjutan dan pengaruhnya Terhadap Lingkungan” Oleh Reza Ramayana (www.csrindonesia.com)

[13] Op.cit. N.H.T. Siahaan.1987.Ekologi Pembangunan dan Hukum Tata Lingkungan; PT Erlangga: Jakarta hal 38

[14] Ibid. hal 39

[15] Dikutip dari artikel “Pembangunan Berkelanjutan dan pengaruhnya Terhadap Lingkungan” Oleh Reza Ramayana (www.csrindonesia.com)

Konflik SARA dalam Negara Multi-Budaya

Konflik SARA[1] dalam Negara Multi-Budaya

(Studi Kasus Pada Konflik Poso Indonesia Jilid III- 16 Mei - 15 Juni 2000)

Oleh

Mu’izzuddin Dzulhakim

Kekerasan dalam negeri sekarang ini sudah menjadi focus utama penelitian konflik dan upaya-upaya mencegah konflik. Penekanan yang semakin besar pada perang saudara dan kerusuhan social ini dapat dimengerti, karena kedua jenis konflik ini sekarang banyak dijumpai dan jumlah korbanya lebih besar daripada jumlah korban perang antarnegara.

Menurut penelitian World Bank tentang 101 konflik bersenjata diseluruh dunia antara tahun 1989 dan tahun 1996, 95 dari konflik bersenjata itu terjadi di dalam negeri. Sifat konflik tidak lagi memungkinkan pembedaan yang tajam antara perang saudara dengan perang antarnegara. Perang saudara dan pertiakain dalam negeri merupakan sumber utama ketegangan antar Negara, karena sering terjadi pihak luar melibatkan diri, memihak salah satu pihak dalam konflik. Konflik dalam negeri biasanya bebeda dampaknya dari satu wilayah ke wilayah yang lain negeri bersangkutan. Misalnya di Indonesia, perang di Aceh, Papua, dan Kepulauan Maluku masing-masing telah menelan lebih dari 1.000 korban, namun wilayah-wilayah lainnya bnayak yang tetap dalam keadaan aman-aman saja. Demikian pula halnya dibeberapa Negara yang telah hancur oleh perang. Ketika ibukota dan pemerintah pusat telah jatuh sekalipun, pemerintah daerah tetap dapat memelihara keaamanan disejumlah wilayah kantung (contoh Somalia dan Republik Demokrasi Congo).[2]

Kasus Poso yang berlangsung hampir dua tahun sejak Desember 1998 dan terbagi atas tiga fase, masing-masing kerusuhan jilid I (25 - 29 Desember 1998) jilid II ( 17-21 April 2000) dan jilid III (16 Mei - 15 Juni 2000) serta telah menelan korban tewas hampir 300 jiwa, ratusan orang tak diketahui nasibnya, dan hampir 70.000 jiwa mengungsi adalah suatu tragedi kemanusiaan yang memilukan.

Akar Penyebab Konflik Poso

Poso sebelum terjadinya serial konflik pada 1998-2001, merupakan daerah pertanian yang cukup maju, aman, dan damai. Kehidupan penduduknya kala itu begitu damai dan harmonis sesuai dengan semboyan “Sintuwo maroso” yang berarti persatuan yang kuat, mirip dengan semboyan “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”.

Konflik Poso yang muncul di permukaan lebih dilihat dari aspek SARA (suku, agama, ras dan antar kelompok). Akan tetapi bila diperhatikan secara cermat, konflik Poso lebih didasarkan pada kesenjangan politik pemerintahan dan kesenjangan sosial ekonomi. Ketimpangan atau kesenjangan sosial politik bisa sebagai sumber konflik, ketimpangan kesejahteraan sebuah kelompok berarti kesenjangan antara tingkat kesejahteraan yang diharapkan dan tingkat kesejahteraan yang sebenarnya diperoleh,sebagai akibat dari merosotnya dengan cepat status (umumnya ekonomi) kelompok, dibandingkan dengan status sebelumnya atau dengan kelompok atau kelompok-kelompok lain.[3]

kesenjangan politik pemerintahan dan kesenjangan sosial ekonomi pada dasarnya dipicu pergeseran pemegang tampuk pemerintah-an daerah/lokal. Pergeseran pengendalian pemerintahan di kawasan Poso dari pemerintahan kolonial Hindia-Belanda kepada NKRI juga menggeser kepemimpinan dari etnis lokal (suku Pamona) ke etnis pendatang. Pergeseran ini juga berimplikasi terhadap proses rekrutmen pegawai negeri sipil daerah setempat. Sementara itu, pergeseran lokasi kegiatan ekonomi dari Poso Kota (lama) ke Poso Kota (baru) tentu berimplikasi terhadap penguasaan aktivitas ekonominya, karena ada kecenderungan bahwa berpindahnya pusat pemerintahan (daerah) mengundang bergesernya pusat-pusat perekonomian dan perdagangan mendekati pusat-pusat pemerintahan. Singkatnya terjadi akumulasi kegiatan di pusat pemerintahan baru, yang notabene mayoritas penduduknya adalah Muslim[4].

Kesenjangan sosial ekonomi diawali dengan masuknya pendatang ke Poso yang berasal dari Jawa, Bali, Sulawesi Selatan maupun Sulawesi Utara dan Gorontalo.

Para pendatang yang masuk ke Poso umumnya beragama Protestan dan Muslim. Kelompok yang disebut pertama berasal dari wilayah Toraja yang masuk ke Poso dari arah Selatan dan dari Minahasa serta Sangir Talaud dari arah Utara. Sedangkan pendatang Muslim umumnya berasal dari arah Selatan, yaitu suku Bugis yang telah bermigrasi sejak masa pra-kolonial, maupun suku Gorontalo dari arah Utara. Karena itu, wilayah Poso Pesisir dan Kota Poso serta Pamona Selatan cukup banyak desa-desa Kristen dan desa-desa Islam berselang-seling dan bertetangga di satu pihak sedangkan wilayah Pamona Utara sampai dengan wilayah yang berbatasan dengan wilayah Poso Pesisir dan Kota Poso serta ke Barat dengan wilayah Lore Utara dan Lore Selatan yang sangat didominasi oleh mayoritas Kristen. Jadi secara geografis, umat Kristen yang mendiami bagian tengah (dalam) dari wilayah Poso terjepit baik dari arah Utara maupun Selatan dimana proporsi umat Islam semakin besar mendekati proporsi umat Kristen.

Kedatangan para pendatang ini juga menyebab-kan terjadinya peralihan lahan dari yang dahulunya atas kepemilikan penduduk asli, kemudian beralih kepemilikan-nya kepada para pendatang. Proses peralihan kepemilikan tersebut terjadi melalui program pemerintah dalam bentuk transmigrasi maupun penjualaan lahan-lahan pada para migran. Arus migrasi masuk ini cukup deras terjadi semenjak dasawarsa 1970-an dan 1980-an dimana program transmigrasi dilakukan dan dibukanya jalur prasarana angkutan darat, Trans-Sulawesi. Dikembangkannya tanaman bernilai ekonomi tinggi seperti kakao (coklat) dan kelapa (kopra) oleh para pendatang tentunya telah menghasilkan peningkatan kesejahteraan para pemiliknya. Walau penduduk asli mengikuti pola tanam yang sama dengan pendatang, akan tetapi penguasaan pemasaran hasil-hasilnya dikuasai oleh para pendatang. Penduduk asli merasa dirugikan dengan keadaan tersebut dilihat dari dua hal yaitu pertama, lahan pertaniannya sebagian telah beralih kepemilikannya kepada pendatang. Kedua, margin yang diperoleh dari hasil pertanian lebih besar dinikmati oleh para pendatang.

Menurut Gerry van Kliken dari Koninklijk Instituut voor Taal (KITLV) Leiden, Belanda dalam konferensi internasional tentang konflik Asia Pasifik yang diadakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), MOST, UNDP dan UNESCO di Jakarta 22 Oktober 2003 menyebutkan (didasarkan atas penelitiannya) bahwa konflik Poso yang terjadi tahun 1998 dan 2001 lebih didorong oleh eskalasi isu, baik melalui penyebaran informasi lewat jalur yang sudah terbentuk (difusi) maupun penyebaran antar komunitas yang sebelumnya tidak memiliki ikatan sosial (brokerage). Ikatan yang kemudian muncul antar komunitas ini membuat konflik Poso yang bermula dari pertengkaran dua pemuda mabuk menjadi konflik antar agama yang mendapat perhatian internasional.[5]

Struktur Piramida Konflik Poso[6]

Kabupaten Poso tergolong berpenduduk sangat heterogen. Sebelum konflik terjadi, aneka etnis maupun agama hidup rukun dalam harmoni sosial yang sangat terjaga. Walau suku Pamona, yang boleh dikatakan sebagai pribumi Tanah Poso, mendominasi entitas suku yang ada di Poso, namun pergesekan antar etnis nyaris tak pernah ada. Mereka hidup dalam satu consince collective yang disebut dengan sintuwu maroso. Kalaupun konflik pernah terjadi, bentuk maupun besaran konflik itu tak pernah mengusung nama suku, apalagi agama.

Piramida konflik Poso ini bertingkat tiga. Pada lapisan/tingkat yang paling dasar terdapat dua transformasi utama yang telah merubah wilayah Poso secara fundamental. Transformasi mendasar inilah sebenarnya yang merupakan akar dari permasalahan konflik Poso. Pada lapisan/tingkat berikutnya beroperasi sejumlah faktor-faktor etnis dan agama yang saling terkait dengan faktor-faktor politik. Dan terakhir, pada lapisan/tingkat teratas ditemukan faktor-faktor pemicu (provokator) serta stereotip-stereotip labelling psikologi sosial dan dendam yang semakin menguat seiring dengan berkepanjangnya kekerasan yang semakin bengis.

Pada lapisan dasar primida konflik Poso ini ditemukan berbagai transformasi mendasar yang merubah wajah Poso untuk selamanya. Transformasi ini ada dua jenis yaitu; Pertama, transformasi demografik; walaupun Poso telah dimasuki oleh pendatang Kristen dan Islam sejak masa pra-kolonial, proporsi migrasi yang signifikan baru terjadi pada masa Orde Baru sejak dibangunnya prasarana jalan trans-Sulawesi dan pembangunan berbagai pelabuhan laut dan udara. Para pendatang ini masuk dari arah Utara dan Selatan, akibatnya proporsi pendatang terutama yang beragama Islam semakin besar mendekati proporsi umat Kristen baik di Poso Pesisir maupun di Pamona Selatan. Umat Kristen yang banyak mendiami wilayah tengah Poso merasa terjepit dan terancam.

Kedua, transformasi ekonomi; kegiatan perdagangan secara perlahan, tapi pasti mulai mengambil alih peran ekonomi pertanian. Sektor perdagangan terpusat di perkotaan lebih banyak dikuasai pendatang beragama Islam. Keadaan ini makin menebalkan rasa keterdesakan dari penduduk asli yang berbasis pertanian dan beragama Kristen.

Kedua transformasi mendasar diatas secara kebetulan melibatkan kedua umat beragama di Poso berhadapan secara diametral. Kenyataan transformasi struktural kemudian mengendap dalam kesadaran kolektif masing-masing umat beragama. Tepat pada saat inilah para warga setiap umat itu kemudian mulai bertarung. Pertama pertarungan itu dilakukan dalam arena politik dengan memperebutkan berbagai posisi strategis baik dalam partai-partai politik maupun dalam pemerintahan. Selama masing-masing pihak berhasil meraih posisi-posisi strategis itu secara berimbang, dan karena itu dirasakan adil dalam wujud power sharing pertarungan itu tidak meletup dalam bentuk kekerasan fisik. Berakhirnya masa jabatan Bupati lama dan dimulainya pemilihan bupati dan sekwilda baru membuka peluang pertarungan baru yang ternyata gagal diselesaikan secara politik. Maka berubahlah pertarungan itu menjadi pertarungan fisik yang berdarah-darah.

Pada lapisan puncak hanya faktor pemicu bukan akar permasalahan. Perkelahian antar pemuda dari kedua belah pihak hanyalah pemicu yang memancing magma struktural bergerak ke permukaan. Apalagi ditambah dengan kekecewaan institusional yang telah lama menumpuk di pihak umat Kristen. Kegamangan umat Kristen menerima kenyataan baru yang mengancam keharmonisan hidup di Poso. Ketika korban mulai berjatuhan maka roda-roda spiral kekerasanpun menjadi lepas kendali. Dendam semakin menumpuk. Hal ini kemudian berulangkali disulut oleh para provokator. Akibatnya, kekerasan menjadi semakin bengis, keji dan tak berkesudahan sampai berjilid-jilid.

Resolusi Konflik Poso

Resolusi konflik merupakan suatu terminologi ilmiah yang menekankan kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai suatu proses terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik. Penjabaran tahapan proses resolusi konflik dibuat untuk empat tujuan. Pertama, konflik tidak boleh hanya dipandang sebagai suatu fenomena politik-militer, namun harus dilihat sebagai suatu fenomena sosial. Kedua, konflik memiliki suatu siklus hidup yang tidak berjalan linear. Siklus hidup suatu konflik yang spesifik sangat tergantung dari dinamika lingkungan konflik yang spesifik pula. Ketiga, sebab-sebab suatu konflik tidak dapat direduksi ke dalam suatu variabel tunggal dalam bentuk suatu proposisi kausalitas bivariat. Suatu konflik sosial harus dilihat sebagai suatu fenomena yang terjadi karena interaksi bertingkat berbagai faktor. Terakhir, resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara optimal jika dikombinasikan dengan beragam mekanisme penyelesaian konflik lain yang relevan. Suatu mekanisme resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara efektif jika dikaitkan dengan upaya komprehensif untuk mewujudkan perdamaian yang langgeng.[7]

Empat tahapan resolusi konflik yakni de-eskalasi konflik, intervensi kemanusiaan dan negoisasi konflik, problem solving approach dan peace building. Dari keempat tahapan resolusi konflik tersebut, pada konflik Poso kita bisa indentifikasikan sudah mengalami tahapan resolusi konflik yang terakhir yakni peace building[8] pada tahap rekonsiliasi konflik.

Terwujudnya perjanjian damai secara permanen yang dikenal dengan “Deklarasi Malino untuk Poso” di Malino, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan pada 18-20 Desember 2001 tidak terlepas dari adanya inisiatif lokal yang tulus dan kuat untuk menghentikan siklus kekerasan di Poso. Hal ini terutama terlihat dari keinginan pemimpin suku Pamona yang beragama Kristen yang terlebih dahulu mengambil inisiatif melobi pemerintah pusat (Menko Polkam dan Menko Kesra) untuk mengupayakan perdamaian di Poso. Hal in juga didasarkan pada kenyataan di lapangan bahwa semakin terdesaknya posisi umat Kristen terutama setelah kedatangan Laskar Jihad dari luar Poso. Sesungguhnya kedua belah pihak menyadari bahwa tidak ada pihak yang menang (sama-sama kalah) dalam konflik ini.[9]

Esensi penting dari isi deklarasi damai Malino ini disebutkan bahwa kelompok Muslim dan Kristiani dengan hati lapang serta jiwa terbuka sepakat menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan. Mereka juga wajib mentaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung pemberian sanksi hukum kepada siapa saja yang melanggar serta meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan. Guna menjaga agar suasana damai, mereka menolak pemberlakuan keadaan darurat sipil dan campur tangan pihak asing. Mereka sepakat menghilangkan semua fitnah dan ketidak-jujuran terhadap semua pihak dan menegakkan sikap saling menghormati dan memaafkan satu sama lain, demi terciptanya kerukunan hidup bersama. Disepakati juga tentang hak hidup di Poso yang tersirat dari adanya pernyataan bahwa Poso adalah bagian integral dari NKRI, karena itu setiap warganegara memiliki hak untuk hidup, datang dan tinggal secara damai serta menghormati adat-istiadat setempat. Semua hak dan kepemilikan harus dikembalikan kepada pemilik yang sah sebagaimana sebelum konflik dan perselisihan berlangsung.

Ketika Deklarasi Malino (Desember 2001) dikumandakan, penulis memahami sebagai momentum terjadinya de-eskalasi konflik[10], maka upaya-upaya damai yang digerakkan oleh inisiatif masyarakat baru memperlihatkan efektifitasnya. Di berbagai tempat dialakukan inisiatif perdamaian yang dilakukan atas inisiatif masyarakat, meski berbagai kegiatan itu memang bermuara pada upaya mengimplementasikan kesepakatan Malino. Kegiatan-kegiatan yang bearasal dari dari akar rumput ini meliputi bermacam-macam kegiatan mulai dari pertandingan olah raga, kesenian, maupun berbagai kegiatan kultural.

Kriesberg berpendapat bahwa semakin tinggi tingkat interaksi dan saling ketergantungan antara pihak-pihak yang tadinya berkonflik, akan semakin membatasi munculnya konflik baru. Munculnya saling pengertian dan berkembangnya norma-norma bersama juga akan dapat mencegah konflik.[11]

Setelah adanya upaya de-eskalsi konflik melalui Deklarasi Malino, tahap selanjunya adalah peace building tanpa melalui tahap yang kedua dan ketiga yakni tahapan intervensi dan negoisasi politik serta tahapan problem solving approach. Konflik Poso memasuki masa peace building yakni pada tahap rekonsilisasi konflik walaupun pembunuhan sporadis masih terjadi. Perang terbuka berskala besar sudah tidak ada lagi. Seperti yang dipaparkan sebelumnya, momentum de-eskalasi terutama terjadi sejak disepaktinya deklarasi Malino. Namun, dalam kontelasi kehidupan Poso ternyata masih muncul penembakan, pemboman, dan juga kekerasan individual secara sporadis. Apa dan mengapa hal itu terjadi, dan apakah hal itu masih merupakan bagian kepanjangan dari konflik. Terlalu sulit untuk mendapatkan jawaban secara pasti. Sebab, analisis yang muncul memang memang beraneka ragam. Ada analisa yang melontarkan tuduhan pada aparat keamanan, yang disebut tidak rela membiarkan Poso menjadi aman kembali, dan berusaha mempertahankan status quo berupa Poso yang “Aman Tapi Mencekam” (ATM), sehingga proyek “keamanan” bagi Poso dapat terus dinikmati. Namun, ada analisis yang menilai kekerasan sporadis dapat pula dilakukan oleh para korban konflik Poso yang merasa tidak puas terhadap penanganan dan penegakan hukum pemerintah.[12]

Kekerasan sporadis dapat pula dianalisis sebagai sebuah rekayasa yang dilakukan oleh kelompok elit yang terancam oleh tangan-tangan hukum. Diantara mereka terutama mencakup para pelaku penyimpangan dana bantuan yang dilasurkan untuk membangun kembali Poso. Sebagai upaya penyelamatan, mereka melakukan berbagai langkah kekerasan untuk memancing kembali terjadinya konflik antara komunitas, sehingga aparat akan lebih terkosentrasi lagi menangani persoalan konflik.

Namun ada analisa pula yang melihat bahwa kekrasan terjadi sebagai kepanjangan dari dinamika politik lokal, jika di era sebelum konflik didominasi oleh kelompok Islam, maka pada era pascakonflik yang terjadi justru sebaliknya, yakni dominasi kelompok Nasrani. Penjukirbalikan pengusaan sumber-sumber politik terjadi terutama seiring dengan diberlakukan kebijakan pemekaran daerah Poso, sehingga merubah komposisi kependudukan, yang di era sistem politik berdasar pemilihan langsung sangat berimplikasi pada struktur penjabat di lingkungan legislatif dan eksekutif.

Kesimpulan

Akar masalah konflik Poso adalah kesenjangan sosial dan ketidakadilan, terutama terjadinya marjinalisasi politik antara penduduk asli dan para pendatang. Banyak pihak yang berperan dalam konflik Poso, yang dengan sengaja menghembuskan isu etnis dan agama untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, sehingga masyarakat terprovokasi dan bersikap anarkis.

Mengenai apa yg diuraikan pada penjelsan-penjelasan diatas mengenai resolusi atau pun cara menghadapi permasalan konflik di Poso bukanlah satu-satunya cara, melainkan satu alternatif dari beberapa strategi yang selayaknya diterapkan di Poso. Hal yang terpenting terutama pasca deklarasi Malino adalah penyembuhan trauma yang masih melekat di masyarakat, trauma ini bila tidak ditangani akan menumbuhkan dendam yang dapat berakibat tidak dapat dituntaskannya masalah poso. Karenanya kombinasi berbagai strategi untuk mengatasi masalah dengan pertimbnagan berbagai strategi untuk mengatasi masalah dengan pertimbangan kondisi Poso perlu dilakukan agar diperoleh hasiol sesuai harapan, yaiutu bersatunya kembali masyarakat Poso dalam nuansa kebersamaan dan persaudaraan sesuai semboyan mereka “Sintuwo maroso”.

Referensi

…………2005. Konflik Kekerasan Internal (Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik). Yayasan Obor Indonesia: Jakarta

………..2008.Studi Kebijakan Pertahanan Pengelolaan Keamanan di daerah konflik Studi kasus Ambon dan Poso.LIPI: Jakarta

http://katalog.pdii.lipi.go.id/index.php/searchkatalog/downloadDatabyId/6787/6788.pdf BAB V (Negara & Masyarakat Dalam Resolusi Konflik : Sebuah catatan penutup)

http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=14&mnorutisi=7 (Konflik Poso dan Resolusinya)

http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/10thn_pasca_konflik_poso.html (Sepuluh Tahun Pasca Konflik Komunal di Poso)

http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/06/17/nrs,20040617-04,id.html (Empat Tahap Resolusi Konflik)http://katalog.pdii.lipi.go.id/index.php/searchkatalog/downloadDatabyId/6533/6534.pdf (KONFLIK DAN RELASI SOSIAL)

Sinar Harapan edisi Kamis 23Oktober 2003, Eskalasi Isu PicuKonflik Poso, copyright @ Sinar Harapan 2003



[1] SARA (Suku, Agama, ras dan Antar Kelompok)

[2] …………2005. Konflik Kekerasan Internal (Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik). Yayasan Obor Indonesia: Jakarta. Hal 117-118

[3] Ibid. hal 122

[5] Sinar Harapan edisi Kamis 23Oktober 2003, Eskalasi Isu PicuKonflik Poso, copyright @ Sinar Harapan 2003.

[8] Peace-building yang meliputi tahap transisi, tahap rekonsiliasi dan tahap konsolidasi

[10] De-eskalsi konflik: konflik yang terjadi masih diwarnai oleh pertikaian bersenjata yang memakan korban jiwa sehingga pengusung resolusi konflik berupaya untuk menemukan waktu yang tepat untuk memulai (entry point) proses resolusi konflik. Tahap ini masih berurusan dengan adanya konflik bersenjata sehingga proses resolusi konflik terpaksa harus bergandengan tangan dengan orientasi-orientasi militer. Proses resolusi konflik dapat dimulai jika mulai didapat indikasi bahwa pihak-pihak yang bertikai akan menurunkan tingkat eskalasi konflik.

[11]http://katalog.pdii.lipi.go.id/index.php/searchkatalog/downloadDatabyId/6787/6788.pdf BAB V (Negara & Masyarakat Dalam Resolusi Konflik : Sebuah catatan penutup) hal: onflik. 264

[12] Ibid. hal 276