Sabtu, 26 Juni 2010

Konflik SARA dalam Negara Multi-Budaya

Konflik SARA[1] dalam Negara Multi-Budaya

(Studi Kasus Pada Konflik Poso Indonesia Jilid III- 16 Mei - 15 Juni 2000)

Oleh

Mu’izzuddin Dzulhakim

Kekerasan dalam negeri sekarang ini sudah menjadi focus utama penelitian konflik dan upaya-upaya mencegah konflik. Penekanan yang semakin besar pada perang saudara dan kerusuhan social ini dapat dimengerti, karena kedua jenis konflik ini sekarang banyak dijumpai dan jumlah korbanya lebih besar daripada jumlah korban perang antarnegara.

Menurut penelitian World Bank tentang 101 konflik bersenjata diseluruh dunia antara tahun 1989 dan tahun 1996, 95 dari konflik bersenjata itu terjadi di dalam negeri. Sifat konflik tidak lagi memungkinkan pembedaan yang tajam antara perang saudara dengan perang antarnegara. Perang saudara dan pertiakain dalam negeri merupakan sumber utama ketegangan antar Negara, karena sering terjadi pihak luar melibatkan diri, memihak salah satu pihak dalam konflik. Konflik dalam negeri biasanya bebeda dampaknya dari satu wilayah ke wilayah yang lain negeri bersangkutan. Misalnya di Indonesia, perang di Aceh, Papua, dan Kepulauan Maluku masing-masing telah menelan lebih dari 1.000 korban, namun wilayah-wilayah lainnya bnayak yang tetap dalam keadaan aman-aman saja. Demikian pula halnya dibeberapa Negara yang telah hancur oleh perang. Ketika ibukota dan pemerintah pusat telah jatuh sekalipun, pemerintah daerah tetap dapat memelihara keaamanan disejumlah wilayah kantung (contoh Somalia dan Republik Demokrasi Congo).[2]

Kasus Poso yang berlangsung hampir dua tahun sejak Desember 1998 dan terbagi atas tiga fase, masing-masing kerusuhan jilid I (25 - 29 Desember 1998) jilid II ( 17-21 April 2000) dan jilid III (16 Mei - 15 Juni 2000) serta telah menelan korban tewas hampir 300 jiwa, ratusan orang tak diketahui nasibnya, dan hampir 70.000 jiwa mengungsi adalah suatu tragedi kemanusiaan yang memilukan.

Akar Penyebab Konflik Poso

Poso sebelum terjadinya serial konflik pada 1998-2001, merupakan daerah pertanian yang cukup maju, aman, dan damai. Kehidupan penduduknya kala itu begitu damai dan harmonis sesuai dengan semboyan “Sintuwo maroso” yang berarti persatuan yang kuat, mirip dengan semboyan “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”.

Konflik Poso yang muncul di permukaan lebih dilihat dari aspek SARA (suku, agama, ras dan antar kelompok). Akan tetapi bila diperhatikan secara cermat, konflik Poso lebih didasarkan pada kesenjangan politik pemerintahan dan kesenjangan sosial ekonomi. Ketimpangan atau kesenjangan sosial politik bisa sebagai sumber konflik, ketimpangan kesejahteraan sebuah kelompok berarti kesenjangan antara tingkat kesejahteraan yang diharapkan dan tingkat kesejahteraan yang sebenarnya diperoleh,sebagai akibat dari merosotnya dengan cepat status (umumnya ekonomi) kelompok, dibandingkan dengan status sebelumnya atau dengan kelompok atau kelompok-kelompok lain.[3]

kesenjangan politik pemerintahan dan kesenjangan sosial ekonomi pada dasarnya dipicu pergeseran pemegang tampuk pemerintah-an daerah/lokal. Pergeseran pengendalian pemerintahan di kawasan Poso dari pemerintahan kolonial Hindia-Belanda kepada NKRI juga menggeser kepemimpinan dari etnis lokal (suku Pamona) ke etnis pendatang. Pergeseran ini juga berimplikasi terhadap proses rekrutmen pegawai negeri sipil daerah setempat. Sementara itu, pergeseran lokasi kegiatan ekonomi dari Poso Kota (lama) ke Poso Kota (baru) tentu berimplikasi terhadap penguasaan aktivitas ekonominya, karena ada kecenderungan bahwa berpindahnya pusat pemerintahan (daerah) mengundang bergesernya pusat-pusat perekonomian dan perdagangan mendekati pusat-pusat pemerintahan. Singkatnya terjadi akumulasi kegiatan di pusat pemerintahan baru, yang notabene mayoritas penduduknya adalah Muslim[4].

Kesenjangan sosial ekonomi diawali dengan masuknya pendatang ke Poso yang berasal dari Jawa, Bali, Sulawesi Selatan maupun Sulawesi Utara dan Gorontalo.

Para pendatang yang masuk ke Poso umumnya beragama Protestan dan Muslim. Kelompok yang disebut pertama berasal dari wilayah Toraja yang masuk ke Poso dari arah Selatan dan dari Minahasa serta Sangir Talaud dari arah Utara. Sedangkan pendatang Muslim umumnya berasal dari arah Selatan, yaitu suku Bugis yang telah bermigrasi sejak masa pra-kolonial, maupun suku Gorontalo dari arah Utara. Karena itu, wilayah Poso Pesisir dan Kota Poso serta Pamona Selatan cukup banyak desa-desa Kristen dan desa-desa Islam berselang-seling dan bertetangga di satu pihak sedangkan wilayah Pamona Utara sampai dengan wilayah yang berbatasan dengan wilayah Poso Pesisir dan Kota Poso serta ke Barat dengan wilayah Lore Utara dan Lore Selatan yang sangat didominasi oleh mayoritas Kristen. Jadi secara geografis, umat Kristen yang mendiami bagian tengah (dalam) dari wilayah Poso terjepit baik dari arah Utara maupun Selatan dimana proporsi umat Islam semakin besar mendekati proporsi umat Kristen.

Kedatangan para pendatang ini juga menyebab-kan terjadinya peralihan lahan dari yang dahulunya atas kepemilikan penduduk asli, kemudian beralih kepemilikan-nya kepada para pendatang. Proses peralihan kepemilikan tersebut terjadi melalui program pemerintah dalam bentuk transmigrasi maupun penjualaan lahan-lahan pada para migran. Arus migrasi masuk ini cukup deras terjadi semenjak dasawarsa 1970-an dan 1980-an dimana program transmigrasi dilakukan dan dibukanya jalur prasarana angkutan darat, Trans-Sulawesi. Dikembangkannya tanaman bernilai ekonomi tinggi seperti kakao (coklat) dan kelapa (kopra) oleh para pendatang tentunya telah menghasilkan peningkatan kesejahteraan para pemiliknya. Walau penduduk asli mengikuti pola tanam yang sama dengan pendatang, akan tetapi penguasaan pemasaran hasil-hasilnya dikuasai oleh para pendatang. Penduduk asli merasa dirugikan dengan keadaan tersebut dilihat dari dua hal yaitu pertama, lahan pertaniannya sebagian telah beralih kepemilikannya kepada pendatang. Kedua, margin yang diperoleh dari hasil pertanian lebih besar dinikmati oleh para pendatang.

Menurut Gerry van Kliken dari Koninklijk Instituut voor Taal (KITLV) Leiden, Belanda dalam konferensi internasional tentang konflik Asia Pasifik yang diadakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), MOST, UNDP dan UNESCO di Jakarta 22 Oktober 2003 menyebutkan (didasarkan atas penelitiannya) bahwa konflik Poso yang terjadi tahun 1998 dan 2001 lebih didorong oleh eskalasi isu, baik melalui penyebaran informasi lewat jalur yang sudah terbentuk (difusi) maupun penyebaran antar komunitas yang sebelumnya tidak memiliki ikatan sosial (brokerage). Ikatan yang kemudian muncul antar komunitas ini membuat konflik Poso yang bermula dari pertengkaran dua pemuda mabuk menjadi konflik antar agama yang mendapat perhatian internasional.[5]

Struktur Piramida Konflik Poso[6]

Kabupaten Poso tergolong berpenduduk sangat heterogen. Sebelum konflik terjadi, aneka etnis maupun agama hidup rukun dalam harmoni sosial yang sangat terjaga. Walau suku Pamona, yang boleh dikatakan sebagai pribumi Tanah Poso, mendominasi entitas suku yang ada di Poso, namun pergesekan antar etnis nyaris tak pernah ada. Mereka hidup dalam satu consince collective yang disebut dengan sintuwu maroso. Kalaupun konflik pernah terjadi, bentuk maupun besaran konflik itu tak pernah mengusung nama suku, apalagi agama.

Piramida konflik Poso ini bertingkat tiga. Pada lapisan/tingkat yang paling dasar terdapat dua transformasi utama yang telah merubah wilayah Poso secara fundamental. Transformasi mendasar inilah sebenarnya yang merupakan akar dari permasalahan konflik Poso. Pada lapisan/tingkat berikutnya beroperasi sejumlah faktor-faktor etnis dan agama yang saling terkait dengan faktor-faktor politik. Dan terakhir, pada lapisan/tingkat teratas ditemukan faktor-faktor pemicu (provokator) serta stereotip-stereotip labelling psikologi sosial dan dendam yang semakin menguat seiring dengan berkepanjangnya kekerasan yang semakin bengis.

Pada lapisan dasar primida konflik Poso ini ditemukan berbagai transformasi mendasar yang merubah wajah Poso untuk selamanya. Transformasi ini ada dua jenis yaitu; Pertama, transformasi demografik; walaupun Poso telah dimasuki oleh pendatang Kristen dan Islam sejak masa pra-kolonial, proporsi migrasi yang signifikan baru terjadi pada masa Orde Baru sejak dibangunnya prasarana jalan trans-Sulawesi dan pembangunan berbagai pelabuhan laut dan udara. Para pendatang ini masuk dari arah Utara dan Selatan, akibatnya proporsi pendatang terutama yang beragama Islam semakin besar mendekati proporsi umat Kristen baik di Poso Pesisir maupun di Pamona Selatan. Umat Kristen yang banyak mendiami wilayah tengah Poso merasa terjepit dan terancam.

Kedua, transformasi ekonomi; kegiatan perdagangan secara perlahan, tapi pasti mulai mengambil alih peran ekonomi pertanian. Sektor perdagangan terpusat di perkotaan lebih banyak dikuasai pendatang beragama Islam. Keadaan ini makin menebalkan rasa keterdesakan dari penduduk asli yang berbasis pertanian dan beragama Kristen.

Kedua transformasi mendasar diatas secara kebetulan melibatkan kedua umat beragama di Poso berhadapan secara diametral. Kenyataan transformasi struktural kemudian mengendap dalam kesadaran kolektif masing-masing umat beragama. Tepat pada saat inilah para warga setiap umat itu kemudian mulai bertarung. Pertama pertarungan itu dilakukan dalam arena politik dengan memperebutkan berbagai posisi strategis baik dalam partai-partai politik maupun dalam pemerintahan. Selama masing-masing pihak berhasil meraih posisi-posisi strategis itu secara berimbang, dan karena itu dirasakan adil dalam wujud power sharing pertarungan itu tidak meletup dalam bentuk kekerasan fisik. Berakhirnya masa jabatan Bupati lama dan dimulainya pemilihan bupati dan sekwilda baru membuka peluang pertarungan baru yang ternyata gagal diselesaikan secara politik. Maka berubahlah pertarungan itu menjadi pertarungan fisik yang berdarah-darah.

Pada lapisan puncak hanya faktor pemicu bukan akar permasalahan. Perkelahian antar pemuda dari kedua belah pihak hanyalah pemicu yang memancing magma struktural bergerak ke permukaan. Apalagi ditambah dengan kekecewaan institusional yang telah lama menumpuk di pihak umat Kristen. Kegamangan umat Kristen menerima kenyataan baru yang mengancam keharmonisan hidup di Poso. Ketika korban mulai berjatuhan maka roda-roda spiral kekerasanpun menjadi lepas kendali. Dendam semakin menumpuk. Hal ini kemudian berulangkali disulut oleh para provokator. Akibatnya, kekerasan menjadi semakin bengis, keji dan tak berkesudahan sampai berjilid-jilid.

Resolusi Konflik Poso

Resolusi konflik merupakan suatu terminologi ilmiah yang menekankan kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai suatu proses terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik. Penjabaran tahapan proses resolusi konflik dibuat untuk empat tujuan. Pertama, konflik tidak boleh hanya dipandang sebagai suatu fenomena politik-militer, namun harus dilihat sebagai suatu fenomena sosial. Kedua, konflik memiliki suatu siklus hidup yang tidak berjalan linear. Siklus hidup suatu konflik yang spesifik sangat tergantung dari dinamika lingkungan konflik yang spesifik pula. Ketiga, sebab-sebab suatu konflik tidak dapat direduksi ke dalam suatu variabel tunggal dalam bentuk suatu proposisi kausalitas bivariat. Suatu konflik sosial harus dilihat sebagai suatu fenomena yang terjadi karena interaksi bertingkat berbagai faktor. Terakhir, resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara optimal jika dikombinasikan dengan beragam mekanisme penyelesaian konflik lain yang relevan. Suatu mekanisme resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara efektif jika dikaitkan dengan upaya komprehensif untuk mewujudkan perdamaian yang langgeng.[7]

Empat tahapan resolusi konflik yakni de-eskalasi konflik, intervensi kemanusiaan dan negoisasi konflik, problem solving approach dan peace building. Dari keempat tahapan resolusi konflik tersebut, pada konflik Poso kita bisa indentifikasikan sudah mengalami tahapan resolusi konflik yang terakhir yakni peace building[8] pada tahap rekonsiliasi konflik.

Terwujudnya perjanjian damai secara permanen yang dikenal dengan “Deklarasi Malino untuk Poso” di Malino, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan pada 18-20 Desember 2001 tidak terlepas dari adanya inisiatif lokal yang tulus dan kuat untuk menghentikan siklus kekerasan di Poso. Hal ini terutama terlihat dari keinginan pemimpin suku Pamona yang beragama Kristen yang terlebih dahulu mengambil inisiatif melobi pemerintah pusat (Menko Polkam dan Menko Kesra) untuk mengupayakan perdamaian di Poso. Hal in juga didasarkan pada kenyataan di lapangan bahwa semakin terdesaknya posisi umat Kristen terutama setelah kedatangan Laskar Jihad dari luar Poso. Sesungguhnya kedua belah pihak menyadari bahwa tidak ada pihak yang menang (sama-sama kalah) dalam konflik ini.[9]

Esensi penting dari isi deklarasi damai Malino ini disebutkan bahwa kelompok Muslim dan Kristiani dengan hati lapang serta jiwa terbuka sepakat menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan. Mereka juga wajib mentaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung pemberian sanksi hukum kepada siapa saja yang melanggar serta meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan. Guna menjaga agar suasana damai, mereka menolak pemberlakuan keadaan darurat sipil dan campur tangan pihak asing. Mereka sepakat menghilangkan semua fitnah dan ketidak-jujuran terhadap semua pihak dan menegakkan sikap saling menghormati dan memaafkan satu sama lain, demi terciptanya kerukunan hidup bersama. Disepakati juga tentang hak hidup di Poso yang tersirat dari adanya pernyataan bahwa Poso adalah bagian integral dari NKRI, karena itu setiap warganegara memiliki hak untuk hidup, datang dan tinggal secara damai serta menghormati adat-istiadat setempat. Semua hak dan kepemilikan harus dikembalikan kepada pemilik yang sah sebagaimana sebelum konflik dan perselisihan berlangsung.

Ketika Deklarasi Malino (Desember 2001) dikumandakan, penulis memahami sebagai momentum terjadinya de-eskalasi konflik[10], maka upaya-upaya damai yang digerakkan oleh inisiatif masyarakat baru memperlihatkan efektifitasnya. Di berbagai tempat dialakukan inisiatif perdamaian yang dilakukan atas inisiatif masyarakat, meski berbagai kegiatan itu memang bermuara pada upaya mengimplementasikan kesepakatan Malino. Kegiatan-kegiatan yang bearasal dari dari akar rumput ini meliputi bermacam-macam kegiatan mulai dari pertandingan olah raga, kesenian, maupun berbagai kegiatan kultural.

Kriesberg berpendapat bahwa semakin tinggi tingkat interaksi dan saling ketergantungan antara pihak-pihak yang tadinya berkonflik, akan semakin membatasi munculnya konflik baru. Munculnya saling pengertian dan berkembangnya norma-norma bersama juga akan dapat mencegah konflik.[11]

Setelah adanya upaya de-eskalsi konflik melalui Deklarasi Malino, tahap selanjunya adalah peace building tanpa melalui tahap yang kedua dan ketiga yakni tahapan intervensi dan negoisasi politik serta tahapan problem solving approach. Konflik Poso memasuki masa peace building yakni pada tahap rekonsilisasi konflik walaupun pembunuhan sporadis masih terjadi. Perang terbuka berskala besar sudah tidak ada lagi. Seperti yang dipaparkan sebelumnya, momentum de-eskalasi terutama terjadi sejak disepaktinya deklarasi Malino. Namun, dalam kontelasi kehidupan Poso ternyata masih muncul penembakan, pemboman, dan juga kekerasan individual secara sporadis. Apa dan mengapa hal itu terjadi, dan apakah hal itu masih merupakan bagian kepanjangan dari konflik. Terlalu sulit untuk mendapatkan jawaban secara pasti. Sebab, analisis yang muncul memang memang beraneka ragam. Ada analisa yang melontarkan tuduhan pada aparat keamanan, yang disebut tidak rela membiarkan Poso menjadi aman kembali, dan berusaha mempertahankan status quo berupa Poso yang “Aman Tapi Mencekam” (ATM), sehingga proyek “keamanan” bagi Poso dapat terus dinikmati. Namun, ada analisis yang menilai kekerasan sporadis dapat pula dilakukan oleh para korban konflik Poso yang merasa tidak puas terhadap penanganan dan penegakan hukum pemerintah.[12]

Kekerasan sporadis dapat pula dianalisis sebagai sebuah rekayasa yang dilakukan oleh kelompok elit yang terancam oleh tangan-tangan hukum. Diantara mereka terutama mencakup para pelaku penyimpangan dana bantuan yang dilasurkan untuk membangun kembali Poso. Sebagai upaya penyelamatan, mereka melakukan berbagai langkah kekerasan untuk memancing kembali terjadinya konflik antara komunitas, sehingga aparat akan lebih terkosentrasi lagi menangani persoalan konflik.

Namun ada analisa pula yang melihat bahwa kekrasan terjadi sebagai kepanjangan dari dinamika politik lokal, jika di era sebelum konflik didominasi oleh kelompok Islam, maka pada era pascakonflik yang terjadi justru sebaliknya, yakni dominasi kelompok Nasrani. Penjukirbalikan pengusaan sumber-sumber politik terjadi terutama seiring dengan diberlakukan kebijakan pemekaran daerah Poso, sehingga merubah komposisi kependudukan, yang di era sistem politik berdasar pemilihan langsung sangat berimplikasi pada struktur penjabat di lingkungan legislatif dan eksekutif.

Kesimpulan

Akar masalah konflik Poso adalah kesenjangan sosial dan ketidakadilan, terutama terjadinya marjinalisasi politik antara penduduk asli dan para pendatang. Banyak pihak yang berperan dalam konflik Poso, yang dengan sengaja menghembuskan isu etnis dan agama untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, sehingga masyarakat terprovokasi dan bersikap anarkis.

Mengenai apa yg diuraikan pada penjelsan-penjelasan diatas mengenai resolusi atau pun cara menghadapi permasalan konflik di Poso bukanlah satu-satunya cara, melainkan satu alternatif dari beberapa strategi yang selayaknya diterapkan di Poso. Hal yang terpenting terutama pasca deklarasi Malino adalah penyembuhan trauma yang masih melekat di masyarakat, trauma ini bila tidak ditangani akan menumbuhkan dendam yang dapat berakibat tidak dapat dituntaskannya masalah poso. Karenanya kombinasi berbagai strategi untuk mengatasi masalah dengan pertimbnagan berbagai strategi untuk mengatasi masalah dengan pertimbangan kondisi Poso perlu dilakukan agar diperoleh hasiol sesuai harapan, yaiutu bersatunya kembali masyarakat Poso dalam nuansa kebersamaan dan persaudaraan sesuai semboyan mereka “Sintuwo maroso”.

Referensi

…………2005. Konflik Kekerasan Internal (Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik). Yayasan Obor Indonesia: Jakarta

………..2008.Studi Kebijakan Pertahanan Pengelolaan Keamanan di daerah konflik Studi kasus Ambon dan Poso.LIPI: Jakarta

http://katalog.pdii.lipi.go.id/index.php/searchkatalog/downloadDatabyId/6787/6788.pdf BAB V (Negara & Masyarakat Dalam Resolusi Konflik : Sebuah catatan penutup)

http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=14&mnorutisi=7 (Konflik Poso dan Resolusinya)

http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/10thn_pasca_konflik_poso.html (Sepuluh Tahun Pasca Konflik Komunal di Poso)

http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/06/17/nrs,20040617-04,id.html (Empat Tahap Resolusi Konflik)http://katalog.pdii.lipi.go.id/index.php/searchkatalog/downloadDatabyId/6533/6534.pdf (KONFLIK DAN RELASI SOSIAL)

Sinar Harapan edisi Kamis 23Oktober 2003, Eskalasi Isu PicuKonflik Poso, copyright @ Sinar Harapan 2003



[1] SARA (Suku, Agama, ras dan Antar Kelompok)

[2] …………2005. Konflik Kekerasan Internal (Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik). Yayasan Obor Indonesia: Jakarta. Hal 117-118

[3] Ibid. hal 122

[5] Sinar Harapan edisi Kamis 23Oktober 2003, Eskalasi Isu PicuKonflik Poso, copyright @ Sinar Harapan 2003.

[8] Peace-building yang meliputi tahap transisi, tahap rekonsiliasi dan tahap konsolidasi

[10] De-eskalsi konflik: konflik yang terjadi masih diwarnai oleh pertikaian bersenjata yang memakan korban jiwa sehingga pengusung resolusi konflik berupaya untuk menemukan waktu yang tepat untuk memulai (entry point) proses resolusi konflik. Tahap ini masih berurusan dengan adanya konflik bersenjata sehingga proses resolusi konflik terpaksa harus bergandengan tangan dengan orientasi-orientasi militer. Proses resolusi konflik dapat dimulai jika mulai didapat indikasi bahwa pihak-pihak yang bertikai akan menurunkan tingkat eskalasi konflik.

[11]http://katalog.pdii.lipi.go.id/index.php/searchkatalog/downloadDatabyId/6787/6788.pdf BAB V (Negara & Masyarakat Dalam Resolusi Konflik : Sebuah catatan penutup) hal: onflik. 264

[12] Ibid. hal 276

Tidak ada komentar:

Posting Komentar