Sabtu, 26 Juni 2010

Relasi Pembangunan, Lingkungan Hidup dan Stabilitas Human Security (Negara-Negara Berkembang)

Relasi Pembangunan, Lingkungan Hidup dan Stabilitas Human Security (Negara-Negara Berkembang)

Oleh

Mu’izzuddin Dzulhakim


Abstrak

Pembangunan, lingkungan hidup dan human security merupakan bagian yang saling berkesinambungan satu sama lain. Kerusakan sumber daya alam dan kerentanan terhadap perubahan lingkungan secara langsung dan tidak langsung dipengaruhi oleh interkasi manusia dalam pembangunan dengan lingkungan itu sendiri. Pembangunan yang kita lihat saat ini secara tidak langsung sangat berdampak besar terhadap lingkungan kita, dan hal ini sangat mengancam human security. Hal ini lah yang yang dimaksud pergesaran paradigma tentang security tersebut. Konsep keamanan yang ada saat ini tidak lagi menjelaskan konsep tradisional, tapi lebih kontemporer dan kompleks. Keamanan yang dulunya bersifat militerisme, telah mendapat perluasan makna menjadi keamanan manusia (human security) dan keamanan lingkungan (environmental security). Hal ini terjadi pasca Perang Dingin yang menciptakan momentum baru yang memberi ruang bagi penafsiran kembali makna keamanan.

Kata kunci: Pembangunan, lingkungan hidup, human security.

Pendahuluan

Beberapa tahun belakangan ini kita lihat semakin banyaknya isu lingkungan hidup diangkat dalam agenda percaturan internasional. Kesadaran Negara ataupun masyarakat dunia akan ancaman kerusakan lingkungan menjadikan isu-isu lingkungan hidup menjadi common issu dalam era global. Karena kemerosotan lingkungan hidup sudah menyentuh kehidupan kita sehari-hari, seperti memanasnya suhu bumi (global warming) dan meningkatnya jenis dan kualitas penyakit akibat berlubangnya lapisan ozon kita.

Masalah lingkungan yang kita hadapi itu adalah masalah yang dipandang dari sudut kepentingan manusia. Masalah ini sebenarnya dipandang sebagai masalah ekologi, khususnya ekologi manusia. Masalah itu timbul karena adanya perubahan lingkungan sehingga itu tidak sesuai lagi untuk mendukung kehidupan manusia dan menganggu kesejahteraanya. Dalam permasalahan lingkungan, yang dipersoalkan ialah perubahan yang dilakukan akibat perbuatan manusia. Dengan makin besarnya jumlah manusia yang disertai dengan kebutuhan yang semakin meningkat perorangnya dan makin meningkatnya kemampuan manusia untuk melakukan intervensi terhadap alam, baik alam abiotic maupun biotic, perubahan yang terjadi pada lingkungan makin besar pula[1]. Perubahan yang makin besar itu, misalnya pada arus energy dan daur materi, telah mengganggu proses alam sehingga banyak fungsi ekologi alam terganggu pula. Dampak gangguan fungsi ekologi alam terhadap kesejahteraan manusia semakin terasa pula, baik secara nyata maupun potensial.

Perubahan itu juga tidak luput dari pesatnya kemajuan dunia ilmu pengetahuan dan tekhnologi, begitu pula pesatnya perkembangan dan pergesaran nilai, kian menciptakan benteng kedirian manusia sebagai system yang lebih tinggi derajatnya dari seluruh lingkungan. Kebutuhan manusia berkembang mekar bersama-sama dengan pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari sini kemudian lahir dan berkembang pulalah berbagai keinginan yang sukar dibedakan dengan kebutuhan[2]. IPTEK telah menumbuhkan modernisasi yang pesat, seolah-olah segala sesuatu dapat dieksploitir dan dikonsumir tanpa batas dan pertimbangan, tanpa kaedah-kaedah keserasian, tanpa adanya kaedah interaksi fungsional antara manusia dan lingkungan.

Aktivitas manusia telah membawa dampak besar terhadap ketahanan atau daya dukung lingkungan (environment carrying capacity). Aksi dan tingkah laku berupa pemenuhan kebutuhan dasar dan rupa-rupa kebutuhan lain sampai pada keinginan-keinginan yang variatif, tidak lepas dari loncatan modernisasi yang akhirnya akan mengancam keamanan manusia (Human Security). Jika kita bandingkan dengan situasi pra teknologi modern, aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhannya tidak begitu berpengaruh terhadap keseimbangan alam. Tingkah laku manusia seperti berburu, menebang pohon, berladang ataupun menambang barang-barang tambang yang masih sederhana caranya. Hal itu tidak lah berpengaruh terhadap keseimbangan alam atau lingkungan, karena masih dapat dipulihkan melalui system mata rantai ekosistem yang lainnya.[3] Tetapi kini, kita bisa lihat praktek-praktek hidup manusia bukan lagi sekedar menutupi kebutuhan, melainkan telah berpusat pada keinginan yang serba tidak terbatas, sehingga untuk memenuhinya tidak jarang melakukan eksploitasi yang berlebihan terhadap alam atau lingkungan hidup.

Pergesaran, corak serta sifat kebutuhan kepada keinginan inilah yang pada akhirnya menentukan intensitas masalah-masalah lingkungan yang kita hadapi sekarang. Sosok manusia ditandai dengan potensi-potensi keinginan yang dalam banyak kala melewati batas-batas kewajaran. Potensi-potensi demikian menjadi ancaman terbesar bagi eksistensi ekologi yang yang serasi dan selaras.[4]

Melihat hal tersebut, semakin mengancam dan parahnya kerusakan lingkungan akibat ekploitasi yang berlebihan, timbul kesadaran masyarakat dunia yang makin luas sehingga pada tanggal 5 Juni 1972 setiap negara berkumpul di Stokholm untuk membicarakan masalah lingkungan yang dihadapi didunia. Pertemuan tersebut menghasilkan perjanjian yang kita kenal sebagai Konferensi Stokholm. Dengan adanya Konferensi Stokholm lingkungan tidak lagi merupakan masalah satu Negara saja, melainkan telah menjadi masalah internasional yang dapat mengancam human security masyarakat dunia.

Oleh karena itu, disini penulis mencoba menganalisa bagaimana pembangunan yang berkelanjutan dapat memberikan dampak yang buruk terhadap lingkungan yang akan mengancam human security. Karena pembangunan tidak luput dari eksploitsi lingkungan.

Pembahasan

Konferensi Stokholm secara fakta tidak dapat mengatasi masalah lingkungan yang dihadapi dunia. Pada satu pihak, Negara maju masih terus meneruskan pola hidupnya yang mewah dan boros serta banyak mencemari lingkungan. Jumlah industry, kendaraan bermotor, dan konsumsi energy terus meningkat sehingga limbah yang dihasilkan makin bertambah banyak. Usaha untuk mengurangi limbah itu pun tidak banyak dilakukan, termasuk limbah berbahaya dan beracun. Amerika Serikat dan Belanda misalnya, dihebohkan dengan adanya limbah beracun yang mencemari daerah pemukiman.

Pada lain pihak, Negara-negara dunia ketiga tidak kalah aktifnya dalam mengeksploitasi lingkungan. Politik pembangunan[5] yang dijalani negara-negara berkembang sangat berdampak buruk terhadap kelangsungan hidupnya, Negara-negara berkembnag terus meningkatkan eksploitasi sumberdaya alam untuk meningkatkan pembangunannya beserta untuk membayar hutang luar negerinya. Kerena kemampuan ekonomi dan tekhnologi serta kesadaran lingkungan masih terbatas, peningkatan pembagunan itu tidak disertai dengan tindakan yang memadai untuk melindungi lingkungan. Oleh karena itu, kerusakan sumberdaya alam karena ekspoitasi yang berlebihan dan cara yang semberono serta pencemaran lingkungan pun terjadi di Negara-negara berkembang[6].

Umumnya Negara-negara berkembang sedang giat-giatnya serta penuh ambisius melakukan pembangunan negaranya. Pemerintahan Negara berkembang berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan social masyarakatnya di segala bidang kehidupan lewat berbagai upaya. Keinginan untuk memajukkan negaranya diwujudkan dengan membuka kebijakan menarik investor asing untuk menanamkan modal di negerinya, menjajagi pengalihan tekhnologi (transfer of technology); imporisasi barang-barang yang dinilai mewujudkan kemajuan seperti kendaraan-kendaraan, alat-alat kebutuhan mutakhir dan sebagainya,beserta tidak luput mendayagunakan sumber-sumber daya alam untuk mendukung system pembangunan yang dijalankan.[7] Akan tetapi justru lewat upaya-upaya tersebut system pembangunan yang dijalani sering mengalami kemacetan ditengah jalan. Sehingga tidak heran apabila kerusakan lingkungan untuk pembangunan lebih cendrung merugikan negara-negara berkembang.

Negara miskin yang lebih rentan terhadap kerusakan lingkungan hidup daripada Negara kaya. Karena itu sering terjadi konflik yang dipicu oleh kerusakan lingkunagn hidup di Negara-negara berkembang. Hal itu dapat menyebabkan efek social yang pada akhirnya dapat menimbulkan beberapa tipe konflik, seperti persengketaan dengan Negara lain, benturan antara kelompok adat, pertentangan penduduk sipil dan kerusuhan.[8]

Pembangunan, lingkungan dan Human security di Negara-Negara Berkembang

Sebelum membahas lebih jauh mengenai hubungan ketiga elemen tersebut, penulis terlebih dahulu mengulas mengenai perluasan makna keamanan.

Dengan berakhirnya Perang Dingin menciptakan momentum baru yang memberi ruang bagi penafsiran kembali makna keamanan. Ia tidak semata-mata keamanan negara dari ancaman militer negara lain. Bahkan, sebagai implikasinya, peran militer pun diperluas untuk melakukan tugas-tugas di luar pertahanan teritorial. Selain itu, perhatian terhadap human security juga diperkuat oleh gelombang globalisasi yang melahirkan arus balik karena beberapa efek negatifnya terhadap negara-negara lemah, kelompok, dan individu tertentu. Dan, yang paling mencolok adalah bahwa menguatnya gagasan dan upaya human security merupakan reaksi terhadap masalah-masalah kemanusiaan yang melanda dunia saat ini, mulai dari pengungsi akibat konflik dan kekerasan fisik, penjualan anak-anak dan wanita, masalah pangan, terorisme, perdagangan senjata ilegal, pelanggaran hak azasi manusia, dan salah satunya mengenai kerusakan lingkungan hidup.[9]

Konsep human security diperkenalkan pertama kali oleh United Nations Development Program (UNDP) pada tahun 1994. Dalam report tersebut UNDP menjelaskan konsep human security yang mencakup: keamanan ekonomi, keamanan pangan, keamanan kesehatan, keamanan lingkungan hidup, keamanan personal, keamanan komunitas, dan keamanan politik. Ketujuh hal tersebut diidentifikasikan menjadi dua komponen utama dari Human Security yaitu “freedom from fear” dan “freedom from want”.[10]

Hubungan antara pembangunan, lingkungan dan human security sangat lah dekat dan kompleks. Banyak hal mengenai human security terkait dengan akses sumber daya alam dan perubahan lingkungan yang diakibatkan oleh proses pembangunan. Peningkatan usaha pembangunan akan beriringan dengan peningkatan penggunaan sumber daya alam untuk menyongkong pembangunan itu sendiri dan tidak dipungkiri lagi timbulnya permasalahan-permasalahan dalam lingkungan hidup manusia akan bertambah pula.

Masalah lingkungan yang diakibatkan pembangunan dalam segala bidang pada saat ini memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan individu dan mata pencaharian pada tingkat yang paling dasar. Dalam pembangunan, sumber daya alam merupakan komponen yang penting di mana sumber daya alam ini memberikan kebutuhan asasi bagi kehidupan. Dalam penggunaan sumber daya alam, hendaknya keseimbangan ekosistem tetap terpelihara. Seringkali karena meningkatnya kebutuhan akan hasil proyek pembangunan, keseimbangan alam bisa terganggu, yang kadang-kadang bisa membahayakan kehidupan umat (human security).[11]

Melihat hal tersebut tidak heran apabila konsep dan praktik tentang pembangunan terus mengalami perdebatan dalam dua dekade belakangan ini. Salah satunya dipicu oleh tingginya tingkat kerusakan alam dan lingkungan hidup yang di antaranya diakibatkan oleh “rajinnya” perusahaan dalam mengeksploitasi alam, utamanya industri ekstraktif. Kegiatan yang dilakukan perusahaan tersebut juga tanpa alasan karena dengan aktivitasnya diharapkan laju pertumbuhan ekonomi dan akumulasi kapital di wilayah negara-negara berkembang dapat terus mengalami kemajuan yang positif.[12]

Isitilah pembangunan ini yang pada akhirnya lebih ditujukan bagi negara-negar berkembang yang selalu dinilai oleh banyak pihak terutama oleh negara maju memiliki masalah sosial, ekonomi dan lingkungan yang “permanen”. Lingkungan selanjutnya menjadi satu acuan penting untuk dicermati karena selain dieksploitasi tanpa henti, dampak yang terjadi ternyata bukan hanya berimplikasi negatif bagi negara yang bersangkutan namun telah mencapai tingkatan global. Perubahan iklim dan pemanasan global yang terjadi sebagai akibat menurunkan jumlah luasan hutan di negara berkembang adalah contoh nyatanya.

Di Indonesia, fakta menyatakan bahwa sebetulnya apa yang telah terjadi dengan alam dan lingkungan yang tereksploitasi ada sejak masa penjajahan Portugis, Belanda hingga Jepang yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 400 tahun. Lepas dari upaya penyebaran ideologi yang dilakukan oleh ketiga Negara tersebut, apa yang dilakukan mereka didasari niat untuk memonopoli dan mengeksploitasi hasil rempah-rempah serta hasil bumi lain yang melimpah di Indonesia. Eksploitasi itupun terus berlangsung hingga kini, di mana alam di Indonesia rusak akibat kegiatan perusahaan yang beroperasi tanpa henti. Negara maju memang membayar dalam bentuk pajak serta dana pungutan lainnya sebagai bentuk akumulasi kapital dan peningkatan pertumbuhan ekonomi bagi Indonesia atas apa yang dilakukannya selama perusahaan tersebut beroperasi. Namun, dampak negative yang dirasakan ternyata jauh lebih dahsyat dari dampak positif yang dihadirkan.

Melihat hal tersebut, masalah kerusakan lingkungan tidak lepas dari kehadiran Negara-negara maju yang kaya akan tekhnologi. Negara-negara maju menciptakan berbagai rupa ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang hebat sehingga mampu mengagumkan seluruh masyarakat dunia. Akan tetapi salah satu kelemahan yang belum bias terusik ialah ekses-ekses negatife tekhnologi itu sendiri. Inilah yang menjadi setan-setan ekologi baik di negrinya maupun di negara-negara miskin yang sangat ambisius untuk maju.

Untuk tercapainya kemajuan pembangunan, Negara-negara berkembang biasanya memulai dengan system “open door” yaitu membuka pintu lebar-lebar bagi penanaman modal asing; imporisasi dengan segala jenis barang-barang keperluan modern dari yang cocok dipakai sampai yang sama sekali janggal (karena barang masih sangat asing); pinjaman dilancarkan dari Negara-negara kuat untuk mengeksploitasi sumber-sumber alamnya[13]. Kondisi seperti inilah yang dimanfaatkan negara-negara maju, ambisi-ambisi Negara berkembang ini disambut dan dimanfaatkan untuk lebih meningkatkan industry dan perdagangan negaranya. Segala macam keinginan Negara berkembang dipenuhi seakan-akan dermawan yang murah hati.

Oleh karena itu dapat disimpulkan, tekanan dari Negara-negara maju (baik langsung atau tidak langsung) melahirkan situasi-situasi pelik di Negara-negara berkembang. Yaitu bahwa bukan saja belum mampu menggolkan tujuan hakiki pembangunannya atau belum juga mampu mengenyahkan kemiskinan dan mutu hidup yang rendah, namun bahkan pula ekses-ekses pembangunan yang disumbang Negara-negara maju tidak jarang menjadi beban-beban yang berat dan berkomplikasi.

Kita bisa ambil salah satu contoh di India, peristiwa Bhopal tahun 1984 misalnya tidak terlepas dari sikap masa bodoh dan egoistis Negara maju. Kecelakan di Bhopal ini menewaskan sekitar 1.500 orang dan mencederakan kurang lebih 500.000 penduduk berupa buta, merusak hati dan ginjal, memandulkan wanita, merusak kandungan wanita hamil, dll sebagai akibat bocornya tangki gas metyl icocyanate (MIC). Perusahaan industry yang bernama “Union carbide” adalah milik Amerika Serikat yang menurut sumber sudah kurang memenuhi syarat-syarat, antara lain dekat dengan pemukiman penduduk. Dan sebetulnya perusahaan ini di Negara asalnya tidak lagi dibolehkan beroperasi karena mengandung resiko keselamatan yang sangat besar[14].

Indonesia juga merupakan salah satu contoh negara yang bukan saja mengalami kerugian secara lingkungan namun juga kehilangan banyak materi yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Hutan yang terus dieskploitasi tanpa henti bukan saja menghadirkan banyak tekanan dari dunia internasional dan oleh karenanya maka produk dari Indonesia dibatasi untuk beredar di pasaran internasional, namun lebih dari itu kerugian atas rusaknya hutan juga berdampak bagi penerimaan negara. Bisa dihitung, berapa pendapatan potential yang hilang bagi negara ini akibat dari pembalakan liar yang berdampak dengan hadirnya beragam bencana Satu contoh saja, Oxfam International dalam laporannya berjudul Summary for Policy Makers Climate Variability and Their Implication to Indonesia 2007 menyebutkan total kerugian Indonesia akibat El Nino mencapai 1 milyar dollar AS atau setara dengan sembilan trilyun rupiah. Angka ini belum ditambahkan dengan dengan hadirnya bencana, tanah longsor dan banjir dan biaya untuk upaya perbaikannya.[15]

Melihat contoh-contoh kasus tersebut, sudah jelas bagi Negara-negara maju lebih mementingkan keuntungan ekonomi daripada keselamatan berates ribu orang. Kasus-kasus ini juga merupakan orientasi daari berbagai sebab akibat dari dampak pola-pla sikap Negara maju sehingga masalah konsep pembangunan yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan yang tentunya mengancam human security menjadi sangat berlipat ganda untuk kita hadapi.

Penutup

Kesimpulan

Dengan meluasnya makna keamanan yang sebelumnya hanya bersifat militer, masalah-masalah lingkungan hidup menjadi anggenda utama dalam percaturan internasional. Kebutuhan manusia yang terus bertambah dan diiringi jumlah penduduk yang terus meningkat memaksa masyarakat mau tidak mau mencari alternative untuk memanfaatkan sumber daya alam. Akan tetapi kadang-kadang pemanfaatn sumber daya alam itu tidak sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka, yang pada akhirnya akan terjadi eksploitasi sumber daya alam yang akan mengancam human security.

Selain meningkatnya kebutuhan manusia, IPTEK juga telah menumbuhkan modernisasi yang pesat, seolah-olah segala sesuatu dapat dieksploitir dan dikonsumir tanpa batas dan pertimbangan, tanpa kaedah-kaedah keserasian, tanpa adanya kaedah interaksi fungsional antara manusia dan lingkungan. Masalah kerusakan lingkungan tidak lepas juga dari kehadiran Negara-negara maju yang kaya akan tekhnologi, negara-negara maju menciptakan berbagai rupa ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang pada akhirnya Negara-negara berkembang sebagai sasaran penjualan tekhnologi.

Negara-negara berkembnag yang identik dengan pembangunan, sangat berambisi untuk melakukan pembangunan di segala bidang, sehingga masalah efek samping teknologi yang digunakan untuk pembangunan tidaklah merupakan pertimbangan bagi mereka yang terpenting ialah kemajuan. Mindset Negara-negara berkembang, bahwa yang menjadi “panglima” pembanagunan adalah pesatnya perkembangan teknologi. Maka kita tidak heran apabila kerusakan lingkungan lebih merugikan Negara-negara berkembang dari pada Negara-negara maju karena Negara-negara berkembang terlalu terobsesi dengan pembangunan tanpa memperhatikan dampak yang akan timbul yang akan berimplikasi terhadap human security mereka.

Saran

Hal yang perlu diperhatikan dalam rangka proses pembangunan mengenai perencanaan dan pelaksanaan proyek pembangunan beserta penggalian sumber daya alam untuk kehidupan harus disertai dengan:

- Strategi pembangunan yang sadar akan persoalan lingkungan hidup. Dengan impact ekologi yang sekecil-kecilnya harus ditingkatkan dan diperhatikan.

- Dibutuhkan politik lingkungan global bertujuan untuk mewujudkan persyaratan kehidupan masyarakat untuk global puluhan tahun yang akan datang (kalau mungkin untuk selamanya).

- Eksploitasi sumber hayati hendaknya didasarkan atas tujuan kelanggengan/kelestarian lingkungan, dengan prinsip memanen hasil tidak akan menghancurkan daya autoregenerasinya.

- Pemakain sumber daya alam yang tidak dapat diganti atau diperbaharui harus sehemat dan seefisien mungkin.

Referensi:

Soemarwoto, Otto.1992. Indonesia Dalam Kancah Isu Lingkungan Global; PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Siahaan.1987.Ekologi Pembangunan dan Hukum Tata Lingkungan; PT Erlangga: Jakarta.

Banyu Perwita, Anak Agung,dkk.2005.Pengantar Ilmu Hubungan Internasional; PT Remaja Rosdakarya: Bandung.

Supardi.1985.Lingkungan Hidup dan Kelestariannya; Penerbit Alumni: Bandung

Artikel “Human Security’s Dayhttp://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=4712

Artikel “Pembangunan Berkelanjutan dan pengaruhnya Terhadap Lingkungan” Oleh Reza Ramayana (www.csrindonesia.com)

Artikel “human security” oleh Edy Prasetyono ( Ketua Departemen Hubungan Internasional, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta dan anggota Working Group on Security Sector Reform)



[1] Otto Soemarwoto.1992. Indonesia Dalam Kancah Isu Lingkungan Global; PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Hal 2.

[2] N.H.T. Siahaan.1987.Ekologi Pembangunan dan Hukum Tata Lingkungan; PT Erlangga: Jakarta. Hal 27

[3] Loc.cit. hal 27

[4] Ibid. hal 29

[5] Politik pembangunan dimaksudkan dalam hubungan ini sebagai system-sistem yang dilakukan oleh suatu Negara untuk memajukan pembangunan negaranya dalam berbagai aspek kebutuhan.

[6] Op.cit. Otto Soemarwoto.1992. Indonesia Dalam Kancah Isu Lingkungan Global; PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Hal 5

[7] Op.cit. N.H.T. Siahaan.1987.Ekologi Pembangunan dan Hukum Tata Lingkungan; PT Erlangga: Jakarta. Hal 35

[8] Anak Agung Banyu Perwita.2005.Pengantar Ilmu Hubungan Internasional;PT Remaja Rosdakarya: Bandung. hal 130.

[9] Dikutif dari artikel “human security” oleh Edy Prasetyono ( Ketua Departemen Hubungan Internasional, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta dan anggota Working Group on Security Sector Reform)

[10] Dikutif dari artikel “Human Security’s Dayhttp://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=4712

[11] Dr.I. Supardi.1985.Lingkungan Hidup dan Kelestariannya; Penerbit Alumni: Bandung hal. 61

[12] Dikutip dari artikel “Pembangunan Berkelanjutan dan pengaruhnya Terhadap Lingkungan” Oleh Reza Ramayana (www.csrindonesia.com)

[13] Op.cit. N.H.T. Siahaan.1987.Ekologi Pembangunan dan Hukum Tata Lingkungan; PT Erlangga: Jakarta hal 38

[14] Ibid. hal 39

[15] Dikutip dari artikel “Pembangunan Berkelanjutan dan pengaruhnya Terhadap Lingkungan” Oleh Reza Ramayana (www.csrindonesia.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar